Sabtu, 21 Juli 2012

Touché (Part 6B) by: Windhy Puspitadewi

Inget ya, cuma COPAS! Cekidot ---

"Aku tidak menyangka ruang kelas kita ternyata berdekatan," kata Iel saat menghampiri kelas Ify di jam istirahat.

"Surprise," Ify mengangkat bahu. "Ada apa?"

"Pak Duta minta kita berkumpul di ruang musik," kata Iel.

"Untuk?"

"Mendengar konser tunggalnya," jawab Iel asal. "Mana kutahu."

"Dan, sudah waktunya masuk kelas," Rio menepuk bahu Iel. Dia tidak mengatakan apa-apa pada Ify tapi mengangguk saat mata mereka bertatapan.

Setelah Iel dan Rio pergi, hampir semua murid perempuan di kelas Ify bergegas menghampirinya.

"Apa yang terjadi?" jerit Shilla.

"Sejak kapan kalian akrab?" tanya Zevana.

"Kenalkan aku pada mereka!" teriak Angel.

Ify sampai harus menutup kedua telinganya. Kericuhan itu baru berhenti begitu Bu Winda, guru matematika masuk.

"Kalian bermaksud membunuhku, ya?" keluh Ify, ketika Iel dan Rio menjemput di kelasnya begitu bel pulang berbunyi. Dia bisa merasakan punggungnya panas karena tatapan tajam teman-temannya.

"Hah?" Iel mengenyit.

"Lupakan," Ify menggeleng. "Ke mana kita?"

"Ruang musik."

Mereka mengarah ke gedung utara. Di ujung gedung itu, di dekat tangga terdapat satu ruangan besar dengan berbagai macam alat musik dari yang tradisional sampai kontemporer. Dari ukulele, banjo, grand piano sampai drum tersedia di sana. Pak Duta sedang memainkan Mozart's Twinkle Twinkle Little Star saat mereka bertiga datang.

"Kalian sudah datang," Pak Duta menghentikan permainan pianonya.

"Ada apa, Pak?" tanya Iel.

Pak Duta beranjak dari kursinya.

"Aku mendapat informasi bahwa si track finder sudah mencium keberadaan kita," kata Pak Duta sambil menatap koleksi flute di lemari kaca.

"HAAAAAAHHH?" teriak Iel dan Ify berbarengan.

"Kita harus meningkatkan kewaspadaan," Pak Duta menatap mereka. "Kita masih tidak tahu apa sebenarnya yang diinginkan penculik ini tapi ada baiknya kita berhati-hati, walaupun sepertinya tidak mungkin kita bersembunyi tanpa diketahui track finder."

Ify dan Iel terdiam, mereka tampak shock. Hanya Rio yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

Pak Duta berjalan lagi ke deretan biola dan mengambil yang terkecil yang terletak di ujung lemari. Dia mengambil biola paling baru di situ yang bentuknya kecil. Biola hibahan violis internasional. Pak Duta menggeseknya lalu memainkan Bengawan Solo karya Gesang.

"Cepat sekali," kata Rio tiba-tiba.

"Apa maksudmu?" Pak Duta menurunkan penggesek biolanya.

"Saya merasa semuanya terlalu cepat," kata Rio, tatapan matanya dingin. "Dimulai sejak kedatangan Bapak, penjelasan tentang kaum touché, lalu tiba-tiba penculikan ini. Semua itu berlangsung dalam waktu kurang dari satu bulan. Rasanya seperti..."

Rio menyenderkan punggungnya ke kursi dan menatap lurus Pak Duta. "Sudah direncanakan sebelumnya."

Pak Duta membalas tatapannya. Baik Iel maupun Ify tak ada yang berani bersuara. Tapi kemudian Pak Duta tersenyum.

"Ini kesalahanku," katanya. "Seharusnya aku datang lebih awal untuk memperingatkan kalian. Kedatanganku ini memang bisa dikatakan terlambat sehingga semuanya tampak datang bertubi-tubi. If you look at the big picture, semuanya tidak berlangsung sesingkat itu. Apa yang terjadi tidak bisa dihitung sejak aku datang ke Indonesia tapi sejak kalian memiliki kemampuan itu."

Rio terdiam.

"Lagi pula, bukan hanya kalian yang dalam bahaya di sini," Pak Duta menatap mereka bergantian. "Aku juga."

Setelah hening sejenak, Iel membuka suara.

"Apa yang terjadi dengan touché-touché yang diculik itu?" tanyanya. "Apakah mereka selamat?"

"Aku tidak tahu," aku Pak Duta. "Karena tidak ada kabar dari mereka setelah itu."

"Berarti dibunuh?" muka Ify memucat.

"Belum tentu juga," Pak Duta mencoba menenangkan. "Lagi pula aku juga tidak yakin touché yang di Surabaya  ajan dibawa ke luar negeri. Sekarang ini agak sulit keluar-masuk suatu negara. Jadi mungkin dia akan dibawa ke suatu tempat di dalam negara ini."

"Jadi menurut Bapak, touché itu masih berada di Indonesia?" tanya Iel, dia mulai antusias.

Pak Duta mengangguk. "Bahkan aku menduga dia masih di Pulau Jawa."

"Dari mana Bapak tau?" Iel mengerutkan kening.

"Surat itu," jelas Pak Duta. "Kalian pasti masih ingat bagaimana bunyi puisi itu: You only have to look behind you, at who's underlined you. Destroy everything you touch today, destroy me this way."

"Ada apa dengan puisi itu?" tanya Ify bingung

"Sejak awal aku tahu tentang surat itu, aku sudah menduga ini bukan penculikan biasa," kata Pak Duta sambil mendentingkan satu dua nada di piano. "Dia memberikan petunjuk dalam puisi itu. Petunjuk tempat mereka menculik para touché."

"Kenapa mereka harus memberikan petunjuk setelah susah payah menculik?" tanya Iel tak mengerti.

"Apa kau tak mengerti? Surat itu adalah tentangan untuk kita," jawab Pak Duta. "Mereka ingin adu kepandaian dengan kita."

"Lalu kenapa Bapak tdaik bisa menyelamatkan para touché yang diculik di luar negeri itu?" tanya Rio dingin.

Raut muka Pak Duta berubah tegang.

"Aku terlambat," katanya dengan suara tertahan. "Ketika akhirnya polisi tiba di tempat itu, sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi ada beberapa tanda bahwa tempat itu pernah ditinggali dan ada petunjuk berupa barang-barang kaum touché yang diculik. Jadi mungkin mereka memberi batas waktu, hanya waktunya sampai kapan aku tidak tahu atau lebih tepatnya bekum tahu. Mungkin dalam dua baris puisi itu adalah lebih banyak petunjuk."

"Berarti," gumam Ify. "Kita harus cepat-cepat menyelamatkan touché yang baru saja diculik itu, sebelum terlambat..."

Pak Duta mendentingkan piano lagi. "Atau sebelum ada korban lagi."

Mereka terdiam lagi. Pertemuan kali ini membuat mereka lebih sering terdiam karena banyaknya berita yang mengejutkan. Hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan akan mereka alami.

"Lalu bagaimana Bapak memecahkan kode itu?" tanya Rio. Di antara mereka bertiga, mungkin memang hanya Rio yang membiarkan emosinya mengambil alih hingga tetap berkepala dingin.

Pak Duta mengangguk tapi saat hendak menjelaskan, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Setelah menjawab telpon itu, dia meminta maaf karena harus mengakhiri petemuan itu karena ada sedikit masalah di perusahaan ayahnya.

"Aku akan jelaskan besok," kata Pak Duta.

Sebelum pergi, dia menatap Rio dan tersenyum. "Kata kuncinya ceci n'est pas une pipe."


Sorry pendek-pendek :( kan udah post 3 part. Cheers -@davinarchm

1 komentar: