Sabtu, 12 Mei 2012

Touché (Part 2) by: Windhy Puspitadewi

Ini part 2.
Part ini gue gatau panjang atau enggak :|
Enjoyy...

-----
"Ada apa denganmu?" tanya Pak Joni sambil menunjukkan stopwatch-nya. "Tiga belas koma tujuh detik, jauh lebih lambat daripada sebelumnya."

"Maaf," kata Ify.

Pak Joni menghela napas. "Kalau setiap kali mengatakan 'maaf' kecepatanmu bertambah, kamu sekarang pasti bisa melaju secepat pesawat cancorde."

"Maaf," kata Riska lagi tanpa sadar. "Eh... anu..."

"Sudah, sudah...," desah Pak Joni. "Latihan hari ini selesai, kita lanjutkan besok. Kita istirahat saja."

"Jangan dimasukkan kehati," Agni menepuk bahu Ify.

Ify mengangguk. "Thanks."

Ini pasti gara-gara Pak Duta,
gerutu Ify dalam hati. Ify merasa ada sesuatu yang aneh pada orang itu, seolah Pak Duta tahu sesuatu tentang kemampuannya.

Ify mengambil handuk lalu berjalan ke ruang ganti. Di antara lapangan dan ruang ganti terdapat aula yang biasanya digunakan untuk berlatih bela diri, terutama judo. Sekolah Ify terkenal karena telah memenangi banyak sekali pertandingan judo hingga tingkat nasional. Tidak heran jika klub judo menjadi anak emas di sekolahnya.

Di depan aula yang dipenuhi teriakan itu, Ify terhenti sejenak untuk melihat latihan yang tengah berlangsung. Beberapa orang berlatih berpasangan. Mereka semua tampak hebat dan tangguh, tapi ada satu yang paling menonjol.

Cowok tinggi kurus yang sekarang sedang berlatih di sudut aula. Dia bahkan bisa membanting lawannya tidak sampai lima menit seolah dia sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh lawannya itu.

"Hei kamu!"

Ify menoleh dan melihat murid laki-laki yang masih mengenakan seragam berjalan menghampirinya dari ujung koridor.

"Apa aku mengenalmu?" tanya Ify.

"Tidak," jawab anak laki-laki yang rambutnya dicat cokelat itu. Belum sempat dia meneruskan kalimatnya, tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari sudut ruangan.

"SION!" Seseorang yang tampaknya sang pelatih judo terlihat sedang memarahi salah satu muridnya.

"Kamu tahu tinggal berapa minggu lagi hinga kejuaraan judo tingkat kotamadya???" sembur pelatih itu. Murid di hadapannya diam saja tanpa berani mengangkat wajahnya.

"Sudah berapa hari kita latihan intensif seperti ini? Kamu ini bukannya menunjukkan kemajuan, malah mundur JAUH dibanding sebelumnya!!!"

Semua mata tertuju ke arah mereka.

"Kalau memang masalah pribadimu lebih penting daripada kejuaraan ini, lebih baik kamu mundur saja. Jadi Bapak bisa segera mencari penggantimu!"

Anak itu masih tertunduk.

"Sekarang pulang!" perintah pelatih itu. "Bapak beri waktu sampai besok sore. Kalau kamu belum juga menyelesaikan masalahmu, akan Bapak copot nama kamu!!!"

Anak itu mengangguk tak berdaya, lalu pergi mengambil tasnya dan keluar. Semua anak di tempat itu hanya bisa memandangnya iba tanpa bisa berbuat apa-apa. Begitu melihat semua anak menghentikan aktivitasnya, pelatih yang galak itu langsung berteriak, "APA YANG KALIAN LAKUKAN?! AYO MULAI LATIHAN LAGI!!!"

Riska menelan ludah. Apa pelatih itu mau mencoba melatih dengan gaya Sparta? 
Anak yang tadi dimarahi habis-habisan berjalan melewatinya. Wajahnya pucat dan bibirnya bergetar. Dia hampir saja terjatuh kalau saja Ify tidak memegangi tangannya.

Hawa dingin langsung menyelimuti Ify. Jantungnya berdetak kencang. Napasnya sesak. Apa ini? Frustasi? Sakit? Sedih?

"Terima kasih," kata anak itu pelan, lalu pergi.

"Ugh!" Ify menutup mulutnya, merasa mual. Merasa tidak kuat, dia berjongkok. Keadaan anak itu tidak baik, dia tidak bisa dibiarkan sendiran.

"Hoi, kau tak apa-apa?"

Ify mendongak. Anak laki-laki yang tadi memanggilnya berbiri di depannya dengan wajah khawatir.

"YO!" Si anak laki-laki itu memanggil temannya yang berada di dalam aula, cowok tinggi kurus yang tadi diperhatikan oleh Ify.

"Ada apa, Yel?" tanya anak bernama Rio yang masih memakai baju judoka. "Kenapa dia?"

"Hei, namaku Gabriel," kata anak yang berdiri di depan Ify. "Kau tidak apa-apa?"

"Bu-bukan aku," sekuat tenaga Ify mencoba bicara sekaligus berusaha meredam rasa mual. "Temanmu tadi..."

"Temanku kenapa?" tanya Rio bingung.

"Apa kau tidak melihat temanmu tadi tampak pucat?" tanya Ify.

Gabriel tampak bingung. "Hah?"

"Sion?" Rio mengernyit.

Ify langsung berdiri dan segera berlari sambil berjuang mengatasi rasa mualnya.

"Ikut aku! Aku bakal butuh bantuan kalian!" perintahnya.

Gabriel dan Rio berpandangan tak mengerti, tapi mereka menurut saja dan mengikuti langkah Ify.

Dugaan Rio benar. Mereka menemukan Sion terkapar dengan napas tersengal-sengal tidak jauh dari tempat parkir.

"SION!!!" pekik Rio dan Iel hampir berbarengan sambil berusaha memapahnya.

"Kenapa dia?" tanya Iel, menatap Ify.

"Aku tidak tahu, aku hanya bisa merasakannya," jawab Ify panik.

"Dia kena asma, inhaler-nya ketinggalan di kelas," kata Rio. "Di gedung utara."

Bagaimana dia bisa tahu padahal Sion bahkan tidak punya tenaga untuk bernapas apalagi berbicara?
batin Ify heran.

"Lebih baik bawa saja dulu ke UKS," saran Iel.

Ternyata begitu mereka sampai di UKS tidak ada siapa pun disana. Dokter Cakka, dokter UKS, tidak ada di tempat. Napas Sion sudah tinggal setengah-setengah. Dia ditempatkan di tempat duduk karena satu-satunya pertolongan pertama yang mereka tahu untuk orang yang mendapat serangan asma adalah dia harus duduk tegak.

"Gawat! Jika dia tidak segera dapat obat bisa bahaya," kata Iel khawatir.

"Aku bisa mengambilnya! Aku toh salah satu pelari tercepat di sekolah ini," Ify menawarkan diri.

"Tetap saja, kau tidak akan bisa bolak-balik dari sini ke gedeung utara kurang dari lima menit!" Rio tampak berpikir keras.

Ify memandang sekeliling ruangan dan menemukan buku cara-cara melakukan P3K di salah satu rak. Secepat mungkin dia mengambilnya dan mencari petunjuk pertolongan pertama untuk orang asma.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Rio.

"Mencari petolongan pertama untuk orang asma," Ify membolak-balik halaman. Mungkin karena panik, dia malah kesulitan menemukan apa yang dicarinya.

"Yel!" Rio menatap Iel.

Iel mengangguk lalu menghampiri Ify.

"Pinjam bukunya ya," kata Iel sambil tersenyum. Ify menyerahkan buku tebal itu padanya. Tidak sampai semenit Iel memegangnya, bahkan belum sempat membuka halamannya, dia sudah langsung tahu apa yang harus dilakukan.

"Kopi!" perintahnya. "Beri dia kopi!"

"Eh, bagaimana kau...?" Ify menatapnya bingung.

Iel tidak menggubris pertanyaan itu. "Sebagai pertolongan pertama, kopi bisa membuka saluran udara ke paru-paru. Tertulis begitu di buku itu."

Tertulis
begitu? Dia bahkan belum membuka satu halaman pun!
pikir Ify.

Rio melesat ke meja periksa. Ada segelas kopi yang masih agak hangat di sana, entah milik siapa. Tanpa banyak berpikir lagi, dia langsung meminta Sion meminumnya.

Setelah beberapa teguk, keadaan Sion agak lebih baik walau dia masih tampak kesulitan bernapas.

Rio menoleh ke arah Ify. "Sekarang giliranmu."

Ify mengangguk, mengerti, "Di kelas berapa?"

"Kelas XI-6," jawabnya.

Secepat yang dia bisa, Ify berlari ke gedung utara menuju kelas paling ujung di gedung itu. Dengan napas terengah-engah, Ify masih harus mencari inhaler Sion laci demi laci. Untunglah tidak sampai harus merogoh semua meja yang ada di situ, dia menemukannya.

Di UKS bukan hanya ada Sion, Iel, dan Rio saat Ify kembali karena Pak Duta juga ada di sana. Ify menyerahkan inhaler pada Sion, yang segera mengisapnya.
Tidak lama kemudian ada mobil keluaran Eropa datang dan berhenti tepat di depan ruang UKS.

Pengemudi mobil itu keluar dengan tergesa-geas dan langsung menghadap Pak Duta.

"Ada apa, Pak?"

"Antar anak ini ke rumahnya," perintah Pak Duta.

Iel dan Rio memapah Sion ke dalam mobil. Begitu pintu mobil itu tertutup, mobil itu pun melaju.

"Tadi Pak Duta kebetulan lewat sini," Iel menghela napas.

"Untunglah," desah Ify lega.

"Lebih tepatnya, untung ada kalian," kata Pak Duta. "Kalianlah yang memberi pertolongan pertama, bukan saja."

Mereka bertiga berpandangan.

"Kebetulan yang menyenangkan," Ify tersenyum.

"Tapi sebenarnya, pertemuan ini bukan hanya kebetulan, Ify," kata Pak Duta sambil menatap lurus ke arah Ify.

"Kami memang bermaksud menemuimu."

"Eh?"

"Dengan begini, ketiga tokoh utamanya lengkap," lanjut Pak Duta.

"Ketiga tokos utama?" Ify mengernyitkan dahi.

"Of course," jawab Pak Duta. "The mind reader, the empath, and the text absorber."

Ify tertegun. Semua langsung terdiam. Jantung Ify sudah serasa berhenti berdetak. Berarti benar, orang ini sudah tahu tentang kemampuanku. Eh! Tunggu! Ify menatap Rio dan Iel. Jika the empath yang artinya adalah orang yang bisa merasakan perasaan orang lain adalah dia, maka pembaca pikiran dam penyerap tulisan adalah...

Mereka berdua!
PLOK!

Tepukan Pak Duta memecah keheningan

"Aku akan dengan senang hati menceritakan padamu apa yang sebenarnya terjadi, tapi karena cukup berbahaya jika kita membicarakan hal itu disini," katanya. "Let's talk about it at my house, if you don't mind, of course."

Ify mengangguk, dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi padanya dan siapa mereka ini.


"Great," Pak Duta tersenyum. "Kalau begitu aku akan memberi waktu kalian untuk berganti pakaian. Kutunggu di gerbang depan."

"Kalian berdua," dia menunjuk Rio dan Iel. "Mungkin sebaiknya kalian juga ikut karena walaupun aku sudah memberitahu kalian, aku belum memberitahu kalian semuanya."

Setelah berkata seperti itu, Pak Duta keluar.

Ify segera menuju ruang ganti. Di depan gerbang, Pak Duta sudah menunggu mereka di dalam mobil yang tadi mengantar Sion. Tanpa menanyakan apa pun, mereka bertiga menaiki mobil itu.

"Ini rumahku," jelas Pak Yunus begitu mobil melambat beberapa saat kemudian, tanda mereka  sudah mendekati tempat yang dituju.

"Rumah" mungkin bukan kata yang tepat, karena bangunan itu lebih mirip istana. Dua pilar besar replika pilar Kuil Parthenon menyangga rumah bertingkat tiga itu. Tidak ketinggalan taman bunga dengan air mancur berpatung Dewa Cupid.

"Wow!" seru Iel spontan.

Pak Duta hanya menanggapinya dengan ucapan terima kasih. Mereka lalu dibawa ke ruang tamu, tampat mereka melihat piano tua besar.

"Kalau boleh tahu, apa pekerjaan ayah Bapak?" tanya Iel. "Mafia?"

"Al Capone sudah ketinggalan zaman. Dan, my father is the CEO of King Group," jawab Pak Duta santai sambil meminta pelayannya untuk menyediakan minuman. "Kalian suka jus jeruk?"

***
Akhirnya part 2 selesai, kalau ngegantung bilang penulisnya ya, jangan sama gue.
Kalau pendek juga gue pasrah, ini aja pinggang sakit-sakit.
Part 3 besok ya.
Cheers -Davina.

Jumat, 11 Mei 2012

Touché (Part 1) by: Windhy Puspitadewi

Maaf ngaret, hehehe...
Ini juga baru dibuat jam setengah 8, pis lop bil...
CEKIDOT.

-----

"Aku sudah tak tahan lagi," Angel terisak. "Mereka bertengkar terus tiap malam, aku jadi ingin kabur saja dari rumah."

Sahabat-sahabatnya langsung merangkul dan menghiburnya. Mereka menunjukkan wajah bersimpati, dua di antaranya bahkan mengucapkan berbagai kalimat untuk menunjukkan mereka mengerti perasaannya.

Ify yang duduk tak jauh dari meja mereka secara tak sengaja ikut mendengar keluhan Angel.

Setidaknya orangtuamu masih utuh,
batinnya.

Ify melirik jam tangannya, lalu memutuskan untuk kembali ke kelas. Jam istirahat sudah selesai, dan anak-anak yang lain juga mulai meninggalkan kantin. Sial baginya, saat dia melewati meja Angel, seorang laki-laki menabraknya karena terburu-buru.

Karena kehilangan keseimbangan, spontan Ify bertumpu pada apa pun atau siapa pun yang ada di dekatnya.

"Kau tak apa-apa?" tanya Angel, matanya masih sembap dan suaranya masih serak. Ternyata lengan Angel yang menjadi tumpuan Ify.

Ify menelan ludah. Gawat!

Sesuatu dari tangan tempatnya bertumpu mulai menjalari tubuh Ifu. Dadanya sesak, seolah dipenuhi air hingga kepelupuk matanya. Tidak sampai sedetik kemudian, air itu pun mengalir dari kedua sudut matanya.

"Kau tak apa-apa?" tanya Angel lagi dengan panik diikuti pandangan khawatir teman-temannya yang lain.

Ify menggeleng. "Aku tak sengaja mendengar ceritamu tadi."

"Eh?"

"Aku merasakan apa yang kaurasakan," Ify menatap kedua mata Angel.

Angel tertegun. "Kau pernah mengalami apa yang kualami?"

"Aku merasakan apa yang kauraakan," ualng Ify.

Angel tidak mengatakan apa-apa, tapi dia tampak terharu.

***


"Kamu sudah makan, Fy?" tanya Mama begitu sampai rumah.


"Yup!" Ify menyiapkan piring untuk Mama di meja makan.


"Ada kejadian apa di sekolah?"


"Tidak ada yang spesial, hanya saja aku terpaksa ikut merasakan seperti apa jika orangtuaku bertengkar."

Mama meringis. "Lalu bagaimana rasanya?"



"Super!" jawab Ify. "Seharusnya ada yang merekamku dengan video dan memasukkan ke Youtube, then I'll go global!"


"Kau berharap ada produser film yang menawarimu?" Mama langsung mengambil beberapa sendok nasi.

Ify menghela napas. "Tentu saja!"


Mama tertawa.



"Rasanya aneh. Padahal sejak kecil aku punya Mama karena Papa sudah meninggal," Ify duduk di sebelah mamanya. "Tapi aku tahu bagaimana rasanya jika orangtuaku bertengkar."

Mama terdiam sesaat.



"Kalau begitu anggap saja ini berkah," kata Mama. "Ibaratnya, kamu bisa tahu bagaimana rasanya daging walau selama ini kamu hanya makan sayuran."

Ify mengerutkan kening.



"Mama selalu saja membuat perumpaan yang aneh."


"Tentu saja, itu salah satu keahlian Mama," kata Mama sebelum memasukkan sesuap nasi kemulutnya.

Ify tersenyum.


Tidak ada rahasia antara dia dan mamanya karena mereka hanya punya satu sama lain. Papa meninggal ketika Ify masuk berumur lima tahun akibat serangan jantung. Saat itu jugalah untuk pertama kalinya kemampuan Ify disadari oleh mamanya.


Ketika maupun setelah Papa meninggal, Mama tidak pernah menangis sedikit pun. Bahkan dia selalu berusaha tersenyum. Anehnya, Ify selalu menangis setiap kali menenyuh mamanya, apalagi Ify juga selalu menjawab "tidak tahu" setiap kali ditanya apa yang terjadi. Sampai akhirnya setelah cukup lama didesak, dia mengatakan, "Karena kata tanganku, Mama sedih." Saat itulah Mama sadar akan kemampuan Ify. Anaknya yang saat itu baru berumur lima tahun mengungkapkan perasaan yang tidak bisa dia keluarkan sendiri. Anaknya menangis untuknya. Satu-satunya hal yang masih Ify ingat tentang kejadian sebelas tahun yang lalu itu hanyalah tangisan mamanya yang tumpah sambil memeluknya karen Ify tidak pernah melihat hal seperti itu lagi sekarang.



***
Pelajaran olahraga adalah pelajaran yang paling dibenci Ify, apalagi jika olahraga yang dilakukan berisiko bersentuhan dengan orang lain seperti basket. Itu penyiksaan tersendiri baginya. Walau begitu, setiap hal pasti ada pengecualian. Dan hari ini, pengecualian itu adalah...


"Pelajaran olahraga kali ini adalah...," Pak Robert mengumumkan, "lari 100 meter."


Horeee!!!
sorak Ify dalam hati.


Sebagian besar anak mengerang, tapi Ify tidak. Dia tersenyum lebar. Dia sangat suka lari. Bahkan dia salah satu atlet kebanggan klub atletik di sekolahnya. Setidaknya, dia tidak perlu menyentuh siapa pun saat sedang berlari. Hanya ada dia melawan rekor sebelumnya.



"Sepertinya kau senang," komentar Shilla melihat wajah Ify.


"Tentu saja," Ify meregangkan otot. "Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melawan dirimu sendiri."


"Jangan bilang kata-kata yang baru saja keluar dari mulutmu itu memang berasal dari dirimu sendiri," Shilla menyipitkan mata.


"Memangnya kenapa?"


"Karena aku sudah mengenalmu cukup lama untuk tahu kamu tidak mungkin sebijaksana itu."


"Cih."


Shilla tertawa. "Oh iya, apa kamu sudah dengar bakal ada guru baru? Guru pengganti Bu Winda. Katanya pernah kuliah di Amerika dan anak kenalannya kepala sekolah kita. Kamu sudah denger tentang hal itu?"


"Sudah," jawab Ify. "Darimu, baru saja."


"Aku tersanjung, menjadi orang pertama yang memberitahumu."


"Memang sudah seharusnya," Ify mengangguk. "Berterimakasihlah."


"Kadang-kadang aku ingin memukul kepalamu," kata Shilla kesal.


"Kau punya banyak kesempatan untuk itu."


***


"Aku nggak nyangka guru barunya bakal sekeren ini," bisik Shilla. "Kalau begini, mendingan Bu Winda melahirkan terus saja."


"Mungkin kau lupa, Bu Winda itu manusia," timpal Ify, "bukan tikus."
Shilla terkikik.

Sebenarnya, dalam hati Ify sependapat dengan Shilla. Pak guru barunya itu memang keren. Dia tampak lebih muda daripada umurnya walau dia berkacamata. Gaya berpakaiannya bagus, mungkin pengaruh budaya luar tempat katanya dia pernah tinggal. Tatapannya teduh dan cara bicaranya juga menyenangkan. Sepertinya orangnya periang.



"Oke," kata guru baru itu setelah memperkenalkan diri dengan nama Duta King. "Let's start the lesson!"


"Seperti Bu Winda," dia melanjutkan dengan logat asing. "Saya akan memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk kalian berekspresi. Tidak ada benar dan salah ataupun baik dan jelek di sini."

Pak Duta mengambil biola, memandangi dan menyentuhnya selama beberapa saat, lalu mulai memainkan lagu. Kelemutan dan ketegasan gesekannya berada pada tempo yang tepat. Jika diibaratkan, gaya permainannya mungkin seperti tinjunya Muhammad Ali: float like a butterfly and sting like a bee alias melayang seperti kupu-kupu dan menyengat sepeti lebah.


Semua murid memenjamkan mata mencoba menikmatinya. Beethoven's Symphony No. 7. Begitu Pak Duta selesai, semua anak bertepuk tangan.



"Thank you," kata Pak Duta. "Jangan terintimidasi dengan apa yang baru saja saya mainkan. Permainan yang bagus bukan berasal dari skill. Permainan yang bagus berasal dari feel, dari perasaan. Music adalah tentang bagaimana kita menyampaikan perasaan kita kepada orang lain."

Pandangan Pak Duta menyapu semua anak, lalu berhenti pada ify. Kali ini dia tersenyum.



"Kita disebut berhasil memainkan musik jika orang yang mendengarkan permainan musik kita dapat merasakan apa yang kita rasakan," katanya. "Without touching us-tanpa menyentuh kita."

EH? DIA TAHU?
Ify menelan ludah.



***


Part 1 akhirnya muncul.
Maaf kalau ada salah ketik.
Tunggu part 2 besok ya.
Cheers -Davina.

Touché (Prolog & Sinopsis) by: Windhy Puspitadewi


Ini cuma COPAS, request dari Nabila Najma.
Cekidot.

-----

Sinopsis 

Selain kemampuan aneh yang bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain lewat sentuhan, Ify memiliki kehidupan normal layaknya siswi SMA biasa. Tapi semua berubah sejak kedatangan Pak Duta, guru pengganti,dan perkenalannya dengan Rio yang dingin dan Gabriel si juara kelas.

Ify kemudian diberitahu bahwa dirinya adalah 
 Touché alias orang yang memiliki kemampuan melalui sentuhan, seperti halnya Rio, Gabriel, dan Pak Duta sendiri. Seakan itu belum cukup mengejutkan, Pak Duta diculik! Sebuah puisi kuno diduga merupakan kunci untuk menemukan keberadaan Pak Duta.

Dengan segala kemampuan mereka, Ify, Rio, dan Gabriel pun berusaha memecahkan kode dalam puisi kuno tersebut dan menyelamatkan guru mereka.

-----

Prolog


Ify menangis. Dia terpisah dari mamanya di festival kota karena terlalu asyik memperhatikan mainan burung yang dijual di salah satu lapak. Dia tidak sadar mamanya sudah berjalan agak jauh. Ify masih berumur enam tahun dan dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selain menangis. Tinggi badannya yang belum seberapa membuat dia luput dari perhatian orang-orang yang lalu lalang di depannya. Akhirnya dia hanya bisa berjongkok di bawah salah satu pohon dan menangis.

Setelah lelah, Ify berhenti menangis. Saat memandang sekeliling barulah dia menyadari seorang anak laki-laki seumuran dengannya sedang duduk tidak jauh darinya.



"Siapa?" tanya Ify masih terisak.

Anak laki-laki itu diam saja. Matanya lurus tertuju ke keramaian di depannya.

"Kau tau mamaku?" tanya Ify lagi.

Anak laki-laki itu masih bungkam.

Sama sekali tidak diberi tanggapan, Ify kembali menangis. Sarung tangan pink-nya basah. Mamanya selalu memakaikan Ify sarung tangan saat pergi keluar, karena jika tidak Ify pasti menangis dan mengeluh pusing.


Anak laki-laki itu tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arah Ify. Dia mencondongkan tubuhnya lalu mengulurkan tangan pada Ify.


Ify menghentikan tangisnya dan menyambut uluran tangan anak itu dengan tatapan bingung.



Sesaat setelah anak itu menjabat tangan Ify, dia mengangguk lalu menarik Ify menuju
keramaian.


"Ayo," katanya kemudian. "Kita cari mamamu."


"Eh?"

Anak itu tidak menggubrisnya. Mereka terus berjalan di sela-sela orang yang berlalu lalang. Tidak jarang mereka ditabrak orang-orang yang lebih tinggi daripada mereka, tapi Ify mendapati kadang anak itu memang sengaja menabrakkan diri.


"Tidak lama lagi," kata anak itu.


"Mama?" kata-kata Ify terhenti. "Kau tau mamaku?"


Di depan pos keamanan, Ify melihat mamanya sedang menangis di hadapan dua polisi wanita. Anak laki-laki itu melepaskan tangannya.


"Itu mamamu," katanya.


Tiba-tiba air mata Ify mengalir lagi.

Anak laki-laki itu agak kaget dan mulai ketakutan melihat Ify menangis lagi, tapi kemudian tanpa diduga Ify memeluknya.



"Terima kasih, Superman!" kata Ify cepat hingga mungkin anak itu tidak mengerti apa yang dia ucapkan, lalu Ify berlari ke arah Mamanya. Mamanya yang melihat kedatangannya langsung menjerit dan memeluknya.


"Ifyyy...!"

Kedua polisi itu tersenyum.


Mamanya menciumnya berkali-kali. "Bagaimana kau bisa menemukan Mama?"



"Ah! Itu tadi... ada anak..." saat Ify menoleh ke tempat anak laki-laki yang membantunya tadi berdiri, dia sudah tidak ada.


-----

Itu prolog sama sinopsisnya.Sesuai janji part 1 gue post besok.Jadi, kalau ada salah ketik nama ya anggap aja itu orangnya (?)
Eh, ini cuma COPAS ya, ngga buatan gue.
Cheers -Davina