Jumat, 11 Mei 2012

Touché (Part 1) by: Windhy Puspitadewi

Maaf ngaret, hehehe...
Ini juga baru dibuat jam setengah 8, pis lop bil...
CEKIDOT.

-----

"Aku sudah tak tahan lagi," Angel terisak. "Mereka bertengkar terus tiap malam, aku jadi ingin kabur saja dari rumah."

Sahabat-sahabatnya langsung merangkul dan menghiburnya. Mereka menunjukkan wajah bersimpati, dua di antaranya bahkan mengucapkan berbagai kalimat untuk menunjukkan mereka mengerti perasaannya.

Ify yang duduk tak jauh dari meja mereka secara tak sengaja ikut mendengar keluhan Angel.

Setidaknya orangtuamu masih utuh,
batinnya.

Ify melirik jam tangannya, lalu memutuskan untuk kembali ke kelas. Jam istirahat sudah selesai, dan anak-anak yang lain juga mulai meninggalkan kantin. Sial baginya, saat dia melewati meja Angel, seorang laki-laki menabraknya karena terburu-buru.

Karena kehilangan keseimbangan, spontan Ify bertumpu pada apa pun atau siapa pun yang ada di dekatnya.

"Kau tak apa-apa?" tanya Angel, matanya masih sembap dan suaranya masih serak. Ternyata lengan Angel yang menjadi tumpuan Ify.

Ify menelan ludah. Gawat!

Sesuatu dari tangan tempatnya bertumpu mulai menjalari tubuh Ifu. Dadanya sesak, seolah dipenuhi air hingga kepelupuk matanya. Tidak sampai sedetik kemudian, air itu pun mengalir dari kedua sudut matanya.

"Kau tak apa-apa?" tanya Angel lagi dengan panik diikuti pandangan khawatir teman-temannya yang lain.

Ify menggeleng. "Aku tak sengaja mendengar ceritamu tadi."

"Eh?"

"Aku merasakan apa yang kaurasakan," Ify menatap kedua mata Angel.

Angel tertegun. "Kau pernah mengalami apa yang kualami?"

"Aku merasakan apa yang kauraakan," ualng Ify.

Angel tidak mengatakan apa-apa, tapi dia tampak terharu.

***


"Kamu sudah makan, Fy?" tanya Mama begitu sampai rumah.


"Yup!" Ify menyiapkan piring untuk Mama di meja makan.


"Ada kejadian apa di sekolah?"


"Tidak ada yang spesial, hanya saja aku terpaksa ikut merasakan seperti apa jika orangtuaku bertengkar."

Mama meringis. "Lalu bagaimana rasanya?"



"Super!" jawab Ify. "Seharusnya ada yang merekamku dengan video dan memasukkan ke Youtube, then I'll go global!"


"Kau berharap ada produser film yang menawarimu?" Mama langsung mengambil beberapa sendok nasi.

Ify menghela napas. "Tentu saja!"


Mama tertawa.



"Rasanya aneh. Padahal sejak kecil aku punya Mama karena Papa sudah meninggal," Ify duduk di sebelah mamanya. "Tapi aku tahu bagaimana rasanya jika orangtuaku bertengkar."

Mama terdiam sesaat.



"Kalau begitu anggap saja ini berkah," kata Mama. "Ibaratnya, kamu bisa tahu bagaimana rasanya daging walau selama ini kamu hanya makan sayuran."

Ify mengerutkan kening.



"Mama selalu saja membuat perumpaan yang aneh."


"Tentu saja, itu salah satu keahlian Mama," kata Mama sebelum memasukkan sesuap nasi kemulutnya.

Ify tersenyum.


Tidak ada rahasia antara dia dan mamanya karena mereka hanya punya satu sama lain. Papa meninggal ketika Ify masuk berumur lima tahun akibat serangan jantung. Saat itu jugalah untuk pertama kalinya kemampuan Ify disadari oleh mamanya.


Ketika maupun setelah Papa meninggal, Mama tidak pernah menangis sedikit pun. Bahkan dia selalu berusaha tersenyum. Anehnya, Ify selalu menangis setiap kali menenyuh mamanya, apalagi Ify juga selalu menjawab "tidak tahu" setiap kali ditanya apa yang terjadi. Sampai akhirnya setelah cukup lama didesak, dia mengatakan, "Karena kata tanganku, Mama sedih." Saat itulah Mama sadar akan kemampuan Ify. Anaknya yang saat itu baru berumur lima tahun mengungkapkan perasaan yang tidak bisa dia keluarkan sendiri. Anaknya menangis untuknya. Satu-satunya hal yang masih Ify ingat tentang kejadian sebelas tahun yang lalu itu hanyalah tangisan mamanya yang tumpah sambil memeluknya karen Ify tidak pernah melihat hal seperti itu lagi sekarang.



***
Pelajaran olahraga adalah pelajaran yang paling dibenci Ify, apalagi jika olahraga yang dilakukan berisiko bersentuhan dengan orang lain seperti basket. Itu penyiksaan tersendiri baginya. Walau begitu, setiap hal pasti ada pengecualian. Dan hari ini, pengecualian itu adalah...


"Pelajaran olahraga kali ini adalah...," Pak Robert mengumumkan, "lari 100 meter."


Horeee!!!
sorak Ify dalam hati.


Sebagian besar anak mengerang, tapi Ify tidak. Dia tersenyum lebar. Dia sangat suka lari. Bahkan dia salah satu atlet kebanggan klub atletik di sekolahnya. Setidaknya, dia tidak perlu menyentuh siapa pun saat sedang berlari. Hanya ada dia melawan rekor sebelumnya.



"Sepertinya kau senang," komentar Shilla melihat wajah Ify.


"Tentu saja," Ify meregangkan otot. "Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada melawan dirimu sendiri."


"Jangan bilang kata-kata yang baru saja keluar dari mulutmu itu memang berasal dari dirimu sendiri," Shilla menyipitkan mata.


"Memangnya kenapa?"


"Karena aku sudah mengenalmu cukup lama untuk tahu kamu tidak mungkin sebijaksana itu."


"Cih."


Shilla tertawa. "Oh iya, apa kamu sudah dengar bakal ada guru baru? Guru pengganti Bu Winda. Katanya pernah kuliah di Amerika dan anak kenalannya kepala sekolah kita. Kamu sudah denger tentang hal itu?"


"Sudah," jawab Ify. "Darimu, baru saja."


"Aku tersanjung, menjadi orang pertama yang memberitahumu."


"Memang sudah seharusnya," Ify mengangguk. "Berterimakasihlah."


"Kadang-kadang aku ingin memukul kepalamu," kata Shilla kesal.


"Kau punya banyak kesempatan untuk itu."


***


"Aku nggak nyangka guru barunya bakal sekeren ini," bisik Shilla. "Kalau begini, mendingan Bu Winda melahirkan terus saja."


"Mungkin kau lupa, Bu Winda itu manusia," timpal Ify, "bukan tikus."
Shilla terkikik.

Sebenarnya, dalam hati Ify sependapat dengan Shilla. Pak guru barunya itu memang keren. Dia tampak lebih muda daripada umurnya walau dia berkacamata. Gaya berpakaiannya bagus, mungkin pengaruh budaya luar tempat katanya dia pernah tinggal. Tatapannya teduh dan cara bicaranya juga menyenangkan. Sepertinya orangnya periang.



"Oke," kata guru baru itu setelah memperkenalkan diri dengan nama Duta King. "Let's start the lesson!"


"Seperti Bu Winda," dia melanjutkan dengan logat asing. "Saya akan memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk kalian berekspresi. Tidak ada benar dan salah ataupun baik dan jelek di sini."

Pak Duta mengambil biola, memandangi dan menyentuhnya selama beberapa saat, lalu mulai memainkan lagu. Kelemutan dan ketegasan gesekannya berada pada tempo yang tepat. Jika diibaratkan, gaya permainannya mungkin seperti tinjunya Muhammad Ali: float like a butterfly and sting like a bee alias melayang seperti kupu-kupu dan menyengat sepeti lebah.


Semua murid memenjamkan mata mencoba menikmatinya. Beethoven's Symphony No. 7. Begitu Pak Duta selesai, semua anak bertepuk tangan.



"Thank you," kata Pak Duta. "Jangan terintimidasi dengan apa yang baru saja saya mainkan. Permainan yang bagus bukan berasal dari skill. Permainan yang bagus berasal dari feel, dari perasaan. Music adalah tentang bagaimana kita menyampaikan perasaan kita kepada orang lain."

Pandangan Pak Duta menyapu semua anak, lalu berhenti pada ify. Kali ini dia tersenyum.



"Kita disebut berhasil memainkan musik jika orang yang mendengarkan permainan musik kita dapat merasakan apa yang kita rasakan," katanya. "Without touching us-tanpa menyentuh kita."

EH? DIA TAHU?
Ify menelan ludah.



***


Part 1 akhirnya muncul.
Maaf kalau ada salah ketik.
Tunggu part 2 besok ya.
Cheers -Davina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar