Sabtu, 21 Juli 2012

Touché (Part 6B) by: Windhy Puspitadewi

Inget ya, cuma COPAS! Cekidot ---

"Aku tidak menyangka ruang kelas kita ternyata berdekatan," kata Iel saat menghampiri kelas Ify di jam istirahat.

"Surprise," Ify mengangkat bahu. "Ada apa?"

"Pak Duta minta kita berkumpul di ruang musik," kata Iel.

"Untuk?"

"Mendengar konser tunggalnya," jawab Iel asal. "Mana kutahu."

"Dan, sudah waktunya masuk kelas," Rio menepuk bahu Iel. Dia tidak mengatakan apa-apa pada Ify tapi mengangguk saat mata mereka bertatapan.

Setelah Iel dan Rio pergi, hampir semua murid perempuan di kelas Ify bergegas menghampirinya.

"Apa yang terjadi?" jerit Shilla.

"Sejak kapan kalian akrab?" tanya Zevana.

"Kenalkan aku pada mereka!" teriak Angel.

Ify sampai harus menutup kedua telinganya. Kericuhan itu baru berhenti begitu Bu Winda, guru matematika masuk.

"Kalian bermaksud membunuhku, ya?" keluh Ify, ketika Iel dan Rio menjemput di kelasnya begitu bel pulang berbunyi. Dia bisa merasakan punggungnya panas karena tatapan tajam teman-temannya.

"Hah?" Iel mengenyit.

"Lupakan," Ify menggeleng. "Ke mana kita?"

"Ruang musik."

Mereka mengarah ke gedung utara. Di ujung gedung itu, di dekat tangga terdapat satu ruangan besar dengan berbagai macam alat musik dari yang tradisional sampai kontemporer. Dari ukulele, banjo, grand piano sampai drum tersedia di sana. Pak Duta sedang memainkan Mozart's Twinkle Twinkle Little Star saat mereka bertiga datang.

"Kalian sudah datang," Pak Duta menghentikan permainan pianonya.

"Ada apa, Pak?" tanya Iel.

Pak Duta beranjak dari kursinya.

"Aku mendapat informasi bahwa si track finder sudah mencium keberadaan kita," kata Pak Duta sambil menatap koleksi flute di lemari kaca.

"HAAAAAAHHH?" teriak Iel dan Ify berbarengan.

"Kita harus meningkatkan kewaspadaan," Pak Duta menatap mereka. "Kita masih tidak tahu apa sebenarnya yang diinginkan penculik ini tapi ada baiknya kita berhati-hati, walaupun sepertinya tidak mungkin kita bersembunyi tanpa diketahui track finder."

Ify dan Iel terdiam, mereka tampak shock. Hanya Rio yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun.

Pak Duta berjalan lagi ke deretan biola dan mengambil yang terkecil yang terletak di ujung lemari. Dia mengambil biola paling baru di situ yang bentuknya kecil. Biola hibahan violis internasional. Pak Duta menggeseknya lalu memainkan Bengawan Solo karya Gesang.

"Cepat sekali," kata Rio tiba-tiba.

"Apa maksudmu?" Pak Duta menurunkan penggesek biolanya.

"Saya merasa semuanya terlalu cepat," kata Rio, tatapan matanya dingin. "Dimulai sejak kedatangan Bapak, penjelasan tentang kaum touché, lalu tiba-tiba penculikan ini. Semua itu berlangsung dalam waktu kurang dari satu bulan. Rasanya seperti..."

Rio menyenderkan punggungnya ke kursi dan menatap lurus Pak Duta. "Sudah direncanakan sebelumnya."

Pak Duta membalas tatapannya. Baik Iel maupun Ify tak ada yang berani bersuara. Tapi kemudian Pak Duta tersenyum.

"Ini kesalahanku," katanya. "Seharusnya aku datang lebih awal untuk memperingatkan kalian. Kedatanganku ini memang bisa dikatakan terlambat sehingga semuanya tampak datang bertubi-tubi. If you look at the big picture, semuanya tidak berlangsung sesingkat itu. Apa yang terjadi tidak bisa dihitung sejak aku datang ke Indonesia tapi sejak kalian memiliki kemampuan itu."

Rio terdiam.

"Lagi pula, bukan hanya kalian yang dalam bahaya di sini," Pak Duta menatap mereka bergantian. "Aku juga."

Setelah hening sejenak, Iel membuka suara.

"Apa yang terjadi dengan touché-touché yang diculik itu?" tanyanya. "Apakah mereka selamat?"

"Aku tidak tahu," aku Pak Duta. "Karena tidak ada kabar dari mereka setelah itu."

"Berarti dibunuh?" muka Ify memucat.

"Belum tentu juga," Pak Duta mencoba menenangkan. "Lagi pula aku juga tidak yakin touché yang di Surabaya  ajan dibawa ke luar negeri. Sekarang ini agak sulit keluar-masuk suatu negara. Jadi mungkin dia akan dibawa ke suatu tempat di dalam negara ini."

"Jadi menurut Bapak, touché itu masih berada di Indonesia?" tanya Iel, dia mulai antusias.

Pak Duta mengangguk. "Bahkan aku menduga dia masih di Pulau Jawa."

"Dari mana Bapak tau?" Iel mengerutkan kening.

"Surat itu," jelas Pak Duta. "Kalian pasti masih ingat bagaimana bunyi puisi itu: You only have to look behind you, at who's underlined you. Destroy everything you touch today, destroy me this way."

"Ada apa dengan puisi itu?" tanya Ify bingung

"Sejak awal aku tahu tentang surat itu, aku sudah menduga ini bukan penculikan biasa," kata Pak Duta sambil mendentingkan satu dua nada di piano. "Dia memberikan petunjuk dalam puisi itu. Petunjuk tempat mereka menculik para touché."

"Kenapa mereka harus memberikan petunjuk setelah susah payah menculik?" tanya Iel tak mengerti.

"Apa kau tak mengerti? Surat itu adalah tentangan untuk kita," jawab Pak Duta. "Mereka ingin adu kepandaian dengan kita."

"Lalu kenapa Bapak tdaik bisa menyelamatkan para touché yang diculik di luar negeri itu?" tanya Rio dingin.

Raut muka Pak Duta berubah tegang.

"Aku terlambat," katanya dengan suara tertahan. "Ketika akhirnya polisi tiba di tempat itu, sudah tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi ada beberapa tanda bahwa tempat itu pernah ditinggali dan ada petunjuk berupa barang-barang kaum touché yang diculik. Jadi mungkin mereka memberi batas waktu, hanya waktunya sampai kapan aku tidak tahu atau lebih tepatnya bekum tahu. Mungkin dalam dua baris puisi itu adalah lebih banyak petunjuk."

"Berarti," gumam Ify. "Kita harus cepat-cepat menyelamatkan touché yang baru saja diculik itu, sebelum terlambat..."

Pak Duta mendentingkan piano lagi. "Atau sebelum ada korban lagi."

Mereka terdiam lagi. Pertemuan kali ini membuat mereka lebih sering terdiam karena banyaknya berita yang mengejutkan. Hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan akan mereka alami.

"Lalu bagaimana Bapak memecahkan kode itu?" tanya Rio. Di antara mereka bertiga, mungkin memang hanya Rio yang membiarkan emosinya mengambil alih hingga tetap berkepala dingin.

Pak Duta mengangguk tapi saat hendak menjelaskan, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Setelah menjawab telpon itu, dia meminta maaf karena harus mengakhiri petemuan itu karena ada sedikit masalah di perusahaan ayahnya.

"Aku akan jelaskan besok," kata Pak Duta.

Sebelum pergi, dia menatap Rio dan tersenyum. "Kata kuncinya ceci n'est pas une pipe."


Sorry pendek-pendek :( kan udah post 3 part. Cheers -@davinarchm

Senin, 16 Juli 2012

Touché (Part 6A) by: Windhy Puspitadewi

Hai, sorry ngaret. Cekidot --

"Kenapa wajah kalian seperti itu?" tanya Pak Duta heran, ketika mereka bertemu di Kafe Pelangi. Ketakutan di wajah Ify belum hilang sepenuhnya begitu juga hawa gelap Rio yang lebih pekat. Hanya Iel yang tidak menunjukkan perubahan.

"Ceritanya panjang," jawab Iel.

"Kalau begitu persingkat," kata Pak Duta sambil memanggil pelayan.

"Kami bertemu preman," jelas Iel.

"Lalu?"

"Bapak minta versi singkat, kan?" balas Iel. "Itu versi singkatnya."

Pak duta mendengus lalu tersenyum. "Smart."

"Untuk apa Bapak memanggil kami kesini?" tanya Iel setelah mereka selesai memesan makanan dan minuman.

"Pertama-tama aku harus bertanya dulu," Pak Duta memasang wajah serius dan memandang wajah mereka secara bergantian. "Apakah kalian tau akhir-akhir ini banyak penculikan terhadap kaum touché?"

"EEEEEEEEHHHH?" Iel dan Ify spontan berteriak tapi kemudian cepat-cepat membekap mulut masing-masing.

Pak Duta mengangguk. "Tapi mereka adalah touché yang berada di luar negeri, jadi tidak heran jika kalian tidak mengetahuinya."

"Semuanya berasal dari luar negeri?" tanya Rio, akhirnya membuka suara.

"Sepanjang pengetahuanku," jawab Pak Duta. "Iya."

"Menurut Bapak, apakah orang yang melakukan penculikan-penculikan itu adalah orang yang sama?" tanya Rio lagi.

Pak Duta mengangguk mantap. "Tentu saja."

"Dari mana Bapak tahu?"

"Setiap melakukan penculikan itu, mereka selalu meninggalkan sepucuk surat untuk keluarga korban."

"Minta tebusan?" tanya Iel.

Pak Duta menggeleng. "Salah satu sumber kepolisian di sana yang juga kenalanku mengatakan isi surat itu hanya dua barus dari puisi kuno. Dari situlah aku bisa menarik kesimpulan."

"Puisi?" ulang Ify.

"Aslinya berasal dari bahasa Latin," jelas Pak Duta. "You only have to look behind you, at who's underlined you."

Iel mengerutkan kening. "Lalu apa hubungannya dengan kaum touché? Bukankah itu berati yang menculik mereka adalah orang-orang terdekat mereka? Kata-katanya saja 'look behind you'."

"Lanjutan puisi itu," jawab Rio.

Iel dan Ify langsung menoleh ke arahnya.

Pak Duta menatap Rio kagum. "Pengetahuanmu memang di atas anak-anak seumurmu."

"Apa lanjutannya?" tanya Ify penasaran.

"Destroy everything you touch today, destroy me this way," kata Rio.

"Touch... Touché..." gumam Iel.

Mereka terdiam.

Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Setelah pesanan selesai diantar, mereka mulai berbicara lagi.

"Tapi penculikan itu belum sampai ke Indonesia, kan?" Ify menatap Pak Duta, khawatir.

"Belum..." jawab Pak Duta, "...hingga kemarin. Penculik itu sudah sampai ke kota ini."

Saking kagetnya, mereka sampai tak bisa mengatakan apa pun.

"Apa yang terjadi?" tanya Rio.

"Koki terkenal yang pernah menimba ilmu di Prancis dan sekarang menjadi koki di salah satu hotel berbintang empat di Surabaya diculik dari rumahnya," jelas Pak Duta. "Dia adalah touché yang memiliki kemampuan bisa mengetahui komposisi bahan pembuat makanan, baik jenis maupun ukuran hingga gram terkecil hanya dengan menyentuhnya."

"Hari Jumat pagi dia pamit dari rumahnya untuk pergi ke hotel tempatnya bekerja dan hingga hari ini belum kembali. Ketika dihubungi di tempat kerjanya, hari Jumat itu ternyata dia bahkan tidak datang bekerja."

"Apa kata polisi?" tanya Ify.

"Polisi menganggapnya kabur dari rumah," jawab Pak Duta sambil menuang air mineral ke gelas. "Mereka tidak paham dengan maksud puisi itu, lagi pula mereka juga tidak tahu telah terjadi penculikan dengan modus yang sama di luar negeri."

"Payah," cibir Iel.

"Bagaimana dia bisa tahu?" tanya Rio tiba-tiba.

"Apa maksudmu?" tanya Iel bingung.

"Bagaimana penculik itu bisa mengenali kaum touché?" jelas Rio, menatap tajam Pak Duta. "Apa seperti Bapak mengenali kami? Apa karena semua kaum touché tanpa sadar selalu menyembunyikan tangannya seperti aku dan Ify? Tapi bukankah yang melakukan ini hanya touché yang kemampuannya berhubungan dengan manusia?"

Ify dan Iel melongo karena apa yang dikatakan Rio tidak terpikirkan oleh mereka.

"Ternyata bukan hanya kemampuan touché-mu yang mengagumkan," Pak Duta tersenyum. "Otakmu pun sepertinya akan diperebutkan banyak pihak."

Rio hanya diam, tak menunjukkan ekpresi apa pun.

"Apakah kalian ingat ketika aku menjelaskan tentang touché, aku menyebut bahwa ada beberapa orang dengan pengecualian?" Pak Duta menjelaskan. "Salah satunya, aku menyebutnya sebagai track finder. Orang yang dari sentuhannya bisa mendeteksi keberadaan orang lain atau minimal kaum touché yang lain."

"Track finder?" Ify mengernyit. "Apa yang dia sentuh?"

Pak Duta mengangkat bahu. "Mungkin peta, globe, atau apa pun yang menunjukkan wilayah."

"Kekuatan seperti yang dimiliki Profesor X di X-Men dengan mesin Cerebro-nya?" tanya Iel.

"Yah mungkin semacan itu," Pak Duta meneguk minumannya. "Ini baru teoriku saja, tapi kupikir hanya inilah alasan yang masuk akal."

"Berarti ada kemungkinan sebentar lagi kamu yang diincar?" tanya Rio datar.

Ify dan Iel menelan ludah.

Pak Duta mengangguk. "Sebaiknya mulai sekarang kalian saling menjaga."

"Bukankah berkumpul seperti ini justru membuat kita lebih mudah tertangkap?"

"Aku bilang saling menjaga," Pak Duta mengambil garpu dan pisaunya. "Tidak mengharuskan kita untuk selalu berkumpul. Let's eat!"

Mereka bertiga makan dengan tidak tenang. Apa yang telah dikatakan Pak Duta sudah mulai memengaruhi mereka. Menyadari telah membuat ketiga muridnya tidak nyaman, setelah selesai makan Pak Duta memainkan lagu dengan piano di kafe itu.

"Indah sekali ya," celetuk pelayan restoran itu.

"Memangnya belum pernah ada yang memainkannya?" tanya Rio.

"Pelayan itu mencoba mengingat-ingat. "Seingat saya belum, tapi jangan percaya dengan ingatan saya. Soalnya piano sebelum ini sudah memainkan banyak sekali lagu yang saya nggak tahu hingga saya lupa."

"Piano sebelum ini?"

Pelayan itu mengangguk. "Sudah rusak, karena tua dan terlalu sering dimainkan. Piano ini baru datang tadi pagi, berarti bapak itu yang melakukan premier. Bagus ya suaranya."

Rio mengangguk.

"Apa judul lagu yang dimainkannya?"

"Hana's Eyes," jawab Rio setelah terdiam sesaat.

Setelah selesai, Pak Duta dijemput sopirnya dan dia pulang lebih dulu. Iel, Ify, dan Rio masih di kade itu selama beberapa saat sebelum memutuskan beranjak.

"Kalian pulanglah dulu," kata Rio. "Masih ada yang ingin kupastikan."

Iel mengangguk.

"Dia tidak berbahaya," kata Iel pada Ify dalam perjalanan pulang. "Rio tadi hanya kehilangan kendali dan itu hanya terjadi jika orang-orang yang penting baginya disakiti."

Ify menatapnya. "Tapi aku baru pertama kali ini melihat orang seperti itu."

Iel tersenyum. "Kalau kau lebih mengenalnya, kau akan tahu orang sebaik apa dia. Walau tampak dingin seperti itu, tapi sebenarnya dia adalah orang paling peduli pada sekelilingnya."

"Bagaimana aku bisa mengenalnya kalau dia saja tidak membiarkan orang lain mendekatinya?" tanya Ify, mengingat betapa dinginnya Rio.

Iel menghela napas. "Tidak bisa disalahkan. Kau sendiri, apa yang akan kaulakukan jika orang paling dekat denganmu, keluargamu, tidak mau mendekatimu."

"Jadi keluarganya seperti itu? Tidak mungkin! Ibuku saja tidak mempermasalahkan kemampuanku." Ify tertegun.

Iel tersenyum. "Tidak semua orang seberuntung dirimu yang memiliki ibu seperti itu dan idak semua orang sehebat ibumu, yang mau saja dibaca perasaannya."

"Itukah sebabnya tadi dia marah padaku?" gumam Ify.

"Dia tidak marah padamu," kata Iel. "Itu bukan bentuk kemarahan, buktinya kau masih utuh. Kau kan sudah lihat sendiri bagaimana dia marah."

Ify tersenyum

Hai ;;p. Gimana? Keren kan? Hari ini aku post 2/3 part loh *benerinkerah. Pokoknya jawabannya ntar itu ada dipart ini semua. Sorry ngaret ._.V

Rabu, 11 Juli 2012

Touché (Part 5) by: Windhy Puspitadewi

Sekali lagi ini cuma COPAS ya, ini buatan kak Windhy. Cekidot ---

Ify memegangi lututnya dan terengah-engah.

"Tiga belas koma satu detik," Pak Joni memberitahu. "Coba lebih baik lagi, Fy. Bapak tau kamu bisa."

Ify mengangguk.

Sebentar lagi kejuaraan atletik antar SMA dan cukup banyak orang yang berharap padanya di kejuaraan lari 100 meter. Ify merasa harus bisa menang, walau dia melakukan ini bukan demi mereka. Dia melakukannya demi dirinya sendiri sebagai pembuktian bahwa dia bisa lebih cepat dari yang dibayangkannya.

Melewati aula, Ify berhenti lagi untuk melihat. Kali ini matanya langsung tertuju pada Rio.

"Kau selalu melihat mereka latihan ya?" tanya Iel pada Ify yang memergokinya masih dalam pakaian lari berdiri di depan aula.

"Begitulah," jawab Ify. "Sepertinya kau juga."

Iel memerhatikan baju Ify. "Kau ikut atletik, ya?"

Ify mengangguk. "Kau sendiri?"

"Ronin," jawab Iel dengan bangga. "Tidak ikut klub mana pun."

"Lalu kenapa kau di sini?"

Iel mengedikkan kepalanya ke dalam aula.

"Aku mendukung temanku," katanya. "Yang sekarang sedang melemparkan lawannya ke lantai."

Rio tampak terengah-engah sambil menatap dingin lawannya yang terkapar, nyaris tanpa ekspresi.

"Rio?" tanya Ify.

"Siapa lagi?"

"Sebenarnya, setelah melihat temanmu melemparkan lawannya suatu hari itu, sepertinya ada yang menarikku untuk melihatnya lagi," aku Ify.

"Terima kasih, aku tersanjung," kata Iel senang.

Ify menatapnya. "Aku memujinya, bukan memujimu."

"Aku mewakilinya, jadi terimalah."

Ify menghela napas. "Setelah ini menurutmu apa yang akan terjadi?"

"Setelah apa?"

"Setelah penjelasan Pak Yunus, touché, dan sebagainya."

Iel mengangkat bahu. "Aku tak tahu, tapi sepertinya akan ada kejadian besar."

"Atas dasar?"

"Entahlah, ini insting saja."

"Jawaban tidak ilmiah, bukti tidak cukup, kasus ditolak."

"Kau tahu? Seperti katak yang bisa tahu kalau sebentar lagi turun hujan." Iel masih berusaha meyakinkan pendapatnya.

"Dan kau katak?" tanya Ify.

"Itu tadi majas," jelas Iel. "Perumpamaan."

"Majas dan perumpamaan adalah dua hal yang berbeda," kata Ify.

"Kata siapa?"

"Kau belum menyerap Kamus Besar Bahasa Indonesia?"

"Apakah ini topik yang semula kita bicarakan?" Iel mengerutkan kening.

"Tidak."

"Sampai dimana kita tadi?"

"Katak," jawab Ify.

Iel tertawa. "Sepertinya aku jadi suka padamu."

"Terima kasih, tapi aku tidak."

"Belum," ralat Iel.

Ify hanya tersenyum lalu mengalihkan tatapannya lagi pada Rio.

***

"Aku tidak tahu kau kenal Iel," kata Shilla. "Aku tadi melihatmu ngobrol dengannya di depan aula."

"Aku juga tidak menyangka kenal aku mengenalnya," kata Ify. "Memangnya dia siapa?"

"Hah! Kau tidak tahu?" tanya Shilla tak percaya.

"Dia itu Iel, hanya itu yang kutahu," jawab Ify. "Kenapa?"

Shilla menghela napas. "Dia itu peringkat pertama di sekolah kita, bahkan di kotamadya ini. Dia itu genius, pengetahuannya luas seakan dia telah membaca semua buku di dunia ini."

"Kau terlalu melebih-lebihkan," kata Ify datar.

"Serius!" Shilla meyakinkan. "Bahkan sepertinya dia bisa menyerap isi buku hanya dengan menyentuhnya."

"Walau tentu saja itu tidak mungkin," tambahnya.

Ify mengangkat alis. "Yah... itu lebih menjelaskan semuanya."

"Satu plus lagi, Iel bersahabat dekat dengan Rio!" kata Shilla agak histeris.

"So?"

"Kau tahu sendiri, kan, Rio itu kebanggan sekolah kita, dia juara judo tingkat propinsi, bahkan mungkin nasional," lanjut Shilla. "Ditambah lagi wajah 'bukan urusanku' itu membuatnya tampak cool."

"Oke," Ify mengangguk walau agak heran dengan perumpamaan Shilla. "Lalu?"

"Dan dia sulit didekati, misterius, tak ada seorang pun yang bisa mendekatinya," kata Ify.

"Kenapa?" tanya Ify.

Shilla mengangkat bahu. "Entahlah, dia bahkan selalu menggunakan sarung tangan. Kesannya tidak mau bersentuhan langsung dengan orang lain."

"Oh..." Ify termenung.

"Sama sepertimu, sebenarnya," Shilla menatapnya. "Sama sepertimu yang selalu memasukkan tangan ke dalam jaket atau kantong rok saat istirahat."

"Kalau aku kan tidak tahan dingin," Ify memberi alasan.

Shilla memutar bola matanya. "Ini di Surabaya, memangnya akan sedingin apa?"

Bel masuk berbunyi. Ify menarik tangannya dari kantong roknya.

***

"YO!!!!!!" Iel berseru begitu Ify membuka pintu rumahnya. Rio  berdiri di belakang Iel tapi pandangannya lurus ke jalan.

"Bagaimana kalian bisa tahu alamat rumahku?" tanya Ify heran.

"Malu bertanya sesat di jalan," jawab Iel. "Kami ingin menjemputmu."

"Ke mana?" Ify mengernyitkan dahi.

"Pak Duta belum menghubungimu?"

Ify menggeleng.

"Dia meminta kami berkumpul di Kafe Pelangi malam ini," jelas Iel. "Karena kafe itu tidak jauh dari rumahmu, kamu berpikir untuk menjemputmu lebih dulu dan berangkat ke sana bersama-sama."

"Aku ambil jaket dulu," kata Ify lalu masuk ke rumah.

"Siapa?" tanya Mama.

"Ah... itu... teman," jawab Ify. Dia belm memberitahukan kepada mamanya tentang apa yang telah terjadi. Dia memang telah berjanji tidak menyembunyikan apa pun dari mamanya, tapi karena rahasia ini juga menyangkut orang lain, Ify memutuskan untuk tutup mulut walau dalam hati dia merasa bersalah kepada mamanya.

"Teman?" Mama menatap mata Ify.

"Iya, mereka mengajakku pergi ke acara di sekolah," Ify tak berani membalas tatapan mata mamanya.

Mama Ify terdiam selama beberapa saat lalu mengangguk sambil tersenyum.

"Oke," Mama duduk di sofa dan menyalakan TV. "Jangan pulang terlalu larut."

Ify menarik napas lega. "Siap!"

Setelah mengambil jaket di kamarnya, Ify bergegas menuju pintu depan.

"Aku pergi dulu, Ma," pamitnya.

"Fy," kata Mama. Ify menghentikan langkahnya.

"Apa pun yang kaulakukan," Mama tidak menoleh sedikit pun, "berhati-hatilah."

Ify tertegun tapi kemudian mengangguk. "Ya."

"Kau tidak apa-apa?" tanya Iel sambil berjalan.

"Hah?"

"Wajahmu," Iel menelengkan kepalanya. "Seperti sedang memikirkan sesuatu."

"Itu..." kata Ify, bimbang sesaat. "Aku masih belum menceritakan yang sebenarnya pada Mama tentang apa yang sedang terjadi. Tentang kalian, Pak Duta, dan terutama tentang touché padahal aku sudah berjanji semenjak Papa meninggal tidak akan pernah menyembunyikan apa pun dari Mama. Tapi aku takut jika menceritakannya, bisa membahayakan kalian semua."

"Begitu?"

Mereka lalu terdiam.

"Memangnya kau umur berapa?" Rio yang pertama membuka suara. Matanya yang hitam pekat menatap Ify.

"Hah?"

"Jika kau masih mengeluh seperti itu katakan semuanya saja pada mamamu, jangan jadikan kami sebagai alasan," kata Rio tajam. "Bingung dengan keputusan yang sudah diambil sendiri, kau pikir berapa umurmu?"

Ify langsung merasa tertampar dengan kata-kata Rio. Dia mengernyitkan dahi dan memasang wajah cemberut tapi tak mampu berkata apa-apa untuk membalasnya. Di dalam hatinya, Ify mengakui bahwa kata-kata Rio benar.

"Rio, kata-katamu agak keterlaluan," kata Iel setelah melihat raut wajah Ify.

"Jika kata-kataku salah, dia bisa membalasnya," jawab Rio dingin.

Iel melirik Ify, tapi gadis itu hanya diam. Karena tidak melihat jalan, Iel bertubrukan dengan seseorang hingga dia dan orang yang ditubruknya terjatuh.

"Hoi! Kau taruh di mana matamu?"

Orang yang ditubruk Iel sepertinya preman yang agak mabuk dan dia tidak sendirian. Ada sekitar tiga orang yang tampak di belakangnya.

"Maaf, Bang, saya nggak sengaja," kata Iel sambil berdiri. Dia mengulurkan tangan pada preman itu tapi tangannya ditepis dengan kasar.

"Enak aja cuman minta maaf!" bentak preman itu. "Kalau tulang rusukku patah, kau mau tanggung jawab? Pokoknya aku minta ganti rugi!"

"Bagaimana kalau saya antar Abang ke dokter, kalau memang tulang rusuk Abang patah, saya ganti semua biaya pengobatannya," kata Iel ringan.

"Kau!!!" Preman itu melotot karena merasa Iel menantangnya.

Iel membalas tatapannya dengan santai karena mengira preman-preman itu hanya berani di mulut saja, tapi dia salah. Preman yang tadi ditubruknya maju dan menarik kerah Iel lalu menendang perutnya hingga dia jatuh tersungkur.

"Iel!" pekik Ify yang langsung membantu Iel duduk. Iel terbatuk sambil meringis kesakitan.

"Itu akibatnya kalau mau jadi orang sok tahu!" kata preman itu diikuti iringan tawa teman-temannya.

Rio yang dari tadi diam saja, maju dan melepas kedua sarung tangannya.

"Apa?" kali ini preman itu melotot padanya. "Kau mau membalaskan dendam temanmu, kerempeng?"

Preman itu sudah melakukan ancang-ancang untuk memukulnya tapi Rio sempat mengelak dan memegang tangannya. Si preman mengira Rio terkecoh karena serangan sebenarnya adalah tendanganya yang diarahkan ke rusuk. Begitu preman itu menendang, Rio menjegal kaki tumpuannya hingga preman itu kehilangan keseimbangan lalu dengan mudah membantingnya. Rio sudah membaca apa yang dipikirkannya. Ketiga tema  n preman itu juga mengalami nasib serupa saat ingin menolong temannya. Mereka tak berdaya menghadapi Rio. Melihat semua lawannya terkapar, Rio masih belum berhenti. Dia menarik kerah preman yang tadi menendang Iel, lalu memukulnya berkali-kali. Bahkan sampai akhirnya preman itu memohon ampun, Rio tidak menghentikan pukulannya.

Ify yang melihat kejadian itu membeku. Dia bisa melihat mata Rio yang berkilat seperti orang kesurupan. Tangannya mulai gemetar.

"Rio! Sudah cukup! Hentikan!" teriak Iel. "Kau bisa membunuhnya!"

Rio tidak menggubrisnya. Dia sudah hendak melayangkan pukulan lagi ketika Iel kembali berteriak.

"Aku tidak apa-apa! Sudah! Hentikan! Aku tidak apa-apa!"

Barulah Rio berhenti. Tangannya yang sudah siap memukul lagi dia turunkan.

Rio berjalan mendekati Iel tanpa mengatakan apa-apa. Tanpa sadar Ify mundur selangkah ketika Rio datang. Sadar telah membuat gadis itu ketakutan, Rio meminta maaf.

"Maaf."

Kilatan di mata Rio sudah menghilang, diganti tatapan gelap dan suram lebih dari biasanya.

Iel menghela napas lalu menepuk-nepuk pundak teman baiknya itu. "Kau kehilangan kendali lagi."

Rio hanya diam.

Nih part 5nya. Rionya serem ya. Ntar part 6 panjang banget kok. Cheers -Davina

Selasa, 10 Juli 2012

Touché (Part 4) by: Windhy Puspitadewi

Sekali lagi ini cuma COPAS. Part 4 ---

"Jangan terlalu memikirkannya, Yo," Iel memukul bahu Rio.

"Terima kasih," kata Rio datar. "Nasihat yang bagus."

"Hey, if it works for me, it works for you too!" ujar Iel.

"Tentu saja, karena kau memang tidak pernah berpikir."

"Hoi, apa tidak ingat kalau aku adalah komputer dengan hard disk lebih dari 100 gigabyte?" Iel membela diri merujuk pada kemampuannya menyerap teks.

"Komputer dengan hard disk lebih dari 100 gigabyte," kata Rio datar. "Tanpa operating system."

"Ah, kau hanya iri," Iel meringis.

"Anggap saja begitu kalau itu membuatmu senang," jawab Rio.

Iel tertawa.

Alvin yang duduk di belakang mereka mengeluh keras hingga menarik perhatian mereka berdua. Jika Alvin sampai mengeluh seperti itu, pasti hanya ada satu sebab.

"Cewekmu pasti marah-marah lagi?" tanya Iel pada Alvin.

Alvin mengerang. "Untuk kesekian kalinya dan aku tak tahu apa sebabnya."

"Hormonal mungkin."

"Hanya itu satu-satunya hal yang terpikirkan," desah Alvin.

"Memangnya kau bisa memikirkan apa lagi?" Iel menyeringai.

"Wanita memang membingungkan," Alvin mengeluh lagi lalu merebahkan kepalanya di atas meja. "Kadang-kadang aku sampai berharap punya kekuatan membaca pikiran seperti Mel Gibson di What Women Want."

Rio dan Iel berpandangan.

"Hati-hati dengan apa yang kau inginkan," kata Iel sambil menepuk bahu Alvin lalu beranjak dari kursi. "Ayo, Yo!"

Rio menyambar tasnya dan segera berdiri.

"Kalian mau kemana?" tanya Alvin bingung.

"Ada senior yang menantang Rio judo," jawab Iel.

"Hah! Dan hanya demu alasan itu kalian tega meninggalkan teman kalian yang sedang les miserables ini?" pekik Alvin dramatis.

"Man's gotta do what a man's gotta do."

"Hah! Aku berteman dengan orang yag salah," Alvin menghela napas. "Dan Rio, wajah 'tak ada hubungannya denganku' itu mengjengkelkan!"

Rio mengangkat bahu.

Iel tertawa. "Manusia tidak bisa memilih taksirnya sendiri."

Alvin berdecak. "Aku menyerah, kalau begitu sebagai ganti penghibur kalian yang tidak akan pernah datang, aku ingin bertanya satu hal padamu, Yo."

"Apa?" jawab Rio datar.

Alvin menatap lurus matanya. "Kenapa selain saat judo, kau selalu menutupi tanganmu dengan sarung tangan?"

Rio terdiam sesaat.

"Karena kakiku tidak bisa ditutupi dengan sarung tangan," jawabnya asal lalu pergi keluar kelas diikuti Iel yang tampak sekuat tenaga menahan tawa.

***

Indra mencengkram judogi lawannya tepat di dada dan sikunya.

"Aku akan mempermalukan anak sombong ini. Lihat saja nanti, kau akan kupermalukan dengan Harai Tsurikomi Ashi!"

Orang ini terlalu banyak berpikir, batin Rio.

"Kaki kiri! Kesempatan!"

Tepat saat lawannya hendak menyerang kaki kiri Rio, dia berhasil menghindar bahkan dengan sigap menendang kaki lawannya itu hingga kehilangan keseimbangan. Tak butuh banyak tenaga, Rio menarik lengannya dan membantingnya lalu...

"IPPON!"

"Siaaaaaaaallll!"

Rio cepat-cepat melepaskan tangannya.

"Aku kalah," kata lawannya sambil berusaha berdiri. "Kau memang lebih hebat dariku."

"Tidak," jawab Rio. "Kekuatan kita sama."

Senior itu tersenyum sinis. "Kau tidak perlu menghiburku, aku tidak membutuhkannya."

Dia lalu berjalan menuju teman-temannya.

Tidak, kita benar-benar setara, kata Rio dalam hati. Hanya saja aku punya sedikit keistimewaan yang tidak kau miliki.
Rio sudah memiliki kemampuan membaca pikiran ini sejak kecil, mungkin sejak dia baru dilahirkan. Membaca sebenarnya bukan kata yang tepat karena Rio mendengarkan pikiran seolah-olah melalui telinganya. Bahkan jika orang itu tidak sedang berpikir melainkan membayangkan sesuatu, dia juga bisa melihatnya seakan ada proyektor di kepalanya. Jadi ketika orang yang dia baca pikirannya sedang berpikir sekaligus membayangkan sesuatu, yang terjadi adalah seperti dalam permainan virtual reality. Dan tentu saja, dia harus lebih dulu menyentuh orang itu, karena pikiran tidak disalurkan melalui udara. Ibaratnya jika ingin mendengar suara seseorang yang jauh dari kita, kita masih harus mengangkat telpon terlebih dahulu.

"Yo!" Iel menyambutnya begitu Rio keluar dari ruang ganti. "Kau memang benar-benar kuat."

Mereka berjalan menuju tempat parkir.

"Tidak juga." kata Rio tanpa bermaksud merendah sedikit pun. "Judo itu hampir sama dengan poker, masing-masing pemain memiliki kartu dan kemenangan terletak pada siapa yang paling cepat membaca kartu lawan."

"Berarti kau curang," cibir Iel.

"Et tu-kau juga," Rio menyipitkan mata padanya. "Kalau aku curang, berarti et tu."

Iel tertawa. "Honestum non est semper quod licet-apa yang diperbolehkan tidak selalu terhormat."

"Oh iya, tadi itu dia bermaksud menggunakan Harai Tsurikomi Ashi ya?" tanya Iel kemudian. "Lalu kau membalikkan dengan Deashi Harai?"

"Setelah Proverbia Latina, sekarang apa?"

"Aku membaca Judo for Dummies."

"Membaca?"

Iel menyeringai. "Oke, oke, menyerap"

"Hei, itu si Ify, kan?" tanya Iel saat mereka sudah tiba di tempat parkir, menunjuk ke anak perempuan berpostur tinggi dan berambut panjang yang sedang berjalan menuju lapangan.

"Yeah."

"Apakah kita perlu memanggilnya?" tanya Iel. "Mengingat secara resmi sekarang kita sudah berteman, ménage a trois."

"Apa kau tahu arti kata terakhir yang kuucapkan?" Rio menghela napas.

"Tentu saja," jawab Iel sambil meringis.

Rio melepas sarung tangan kanannya lalu menyentuh bahu Iel.

"Artinya kurasa cukup keren."

Rio menarik tangannya lagi. "Sedikit saran, mungkin sebaiknya kau menyerap kamusnya dulu sebelum mengatakan apapun dalam bahasa asing."

"Apa kau tahu yang namanya privacy?" protes Iel.

"Tahu dan aku tidak melihat papan bertuliskan itu di kepalamu," jawab Rio.

Iel menghela napas lalu menyerahkan helm padanya. "Aku benar-benar ingin tahu apa yang membuatku bisa berteman denganmu selama ini."

"Kau mau aku membantumu?" tanya Rio. "Mumpung aku belum memakai sarung tanganku lagi."

Iel hanya bisa mendengus.

"Omong-omong tentang permintaanku kemarin, apa kau sudah melakukannya?" tanya Iel begitu mereka sampai didepan rumah Rio.

"Ya," jawab Rio. "Sivia ingin boneka beruang dengan pita hijau, Zahra ingin candle light dinner di SPI, dan Pricilla ingin tahu apa kau mau berenang bersamanya."

"Sip! Sip! Sip!" Iel mencatat di PDA-nya. "Para wanita itu memang tidak pernah mau jujur tentang apa yang mereka pikirkan."

"Aku heran, kau itu punya modal kuat untuk jadi playboy bahkan yang sekelas Casanova," Iel menatap Rio sambil masih sibuk mengetik. "Tapi kenapa tak kau lakukan?"

"Sudah kauwakili," jawab Rio datar.

***

Pelajaran paling tidak dikuasai Rio adalah pelajaran yang membutuhkan hadalan. Dia suka sains dan apa pun yang memerlukan hitungan, dia bahkan termasuk di atas rata-rata untuk hal itu. Dia juga suka membaca bku dari novel hingga ensiklopedia, semua bacaan tanpa paksaan. Tapi jika yang dibaca adalah buku pelajaran terutama dengan kewajiban menghafal, dia menyerah.

Hari itu ulangan sejarah dan Rio merasa sudah mulai mual. Semua yang dihafalnya semalam serasa menguap tak berbekas. Susah payah dia berhasil mengingat kapan pembentukan PRRI dan PERMESTA. Sayangnya itu belum cukup karena Pak Dave, guru sejarah, masih menuntut disebutkannya nama Dewan-dewan berikut pemimpinnya.

Rio menyandarkan tubuh dan menghela napas panjang. Iel yang duduk di depannya tampak sudah hampir selesai. Kehabisan akal, Rio mencondongkan tubuhnya lagi, melepas sarung tangan kanannya lalu menyentuh punggung Iel.

"Yel, pinjam penggaris."

Iel semula terkejut tapi dia kemudian sadar apa yang sedang Rio lakukan hingga dia pun berlama-lama mencari penggarisnya untuk memberi Rio waktu membaca pikirannya.

Semoga tidak makan waktu lama, batin Rio mengingat Iel menyerap semua isi buku sejarah sehingga dia harus memilah mana yang dicari. Ah! Ini dia!

"Sjahrir mengemukakan pendapatnya ini dalam menanggapi pembentukan PRRI pada 15 Februari 1958, dan PERMESTA pada 17 Februari 1958. Sejak Desember 1958 benih-benih kedua kejadian itu sudah ditanam dengan terbentuknya Dewan Banteng di Sumatra Barat, Dewan Gajah di Sumatra Utara, Dewan Garudah di Sumatra Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. Dewan-dewan ini berturut-turut dipimpin oleh Achmad Husein, Maludin Simbolon, Barlian, dan Sumual.
"

Rio menarik tangannya lagi.

Iel menoleh kebelakang sambil menyerahkan penggarisnya. "Nih."

Thanks," Rio tersenyum.

Seperti itulah hubungan antara Rio dan Iel, mutualisme. Rio membantu Iel dalam mata pelajaran yang tidak membutuhkan hafalan yang sudah pasti merupakan kelemahannya, sebaliknya Iel membantunya dalam pelajaran yang membutuhkan hafalan. Jika Rio melihat Iel sudah tampak kebingungan atau panik-yang biasanya ditunjukkan dengan seringnya dia menggaruk-garuk kepala-dia akan berpura-pura menjatuhkan lebar jawabnya tak jauh dari meja Iel. Iel akan berbaik hati mengambilnya untuk Rio dan pada saat yang sama menyerap semua yang ditulis di kertas itu. Nasib buruk hanya terjadi jika tempat duduk mereka ditentukan dan diletakkan berjauhan. Saat itu mereka hanya bisa memasrahkan hasil ujian pada Tuhan.


Hehe, nggak begitu panjang ya? Ntar part 5 panjang kok.
Cheers -Davina

Senin, 02 Juli 2012

I LOVE YOU UNTIL LATER ::CERPEN::

Aku berlari dilorong rumah sakit,tak peduli walau seseorang memaki atau meneriakiku.
''Hey!'' Ucap seseorang yang sedang menatap pintu putih dihadapannya,terlihat bahwa wajahnya memancarkan ke khawatiran.
''Gimana keadaan Mamaku?'' Tanyaku khawatir.
''Keadaanya kritis'' Ucap orang itu lagi masih menatap pintu dihadapannya.Aku terduduk lemas.
''Siapa yang menabrak Mamaku kka?'' Tanyaku kesal.
''Entah,orang itu berlari begitu saja'' Ucap orang itu lagi.
''Orang nggak punya perasaan'' Ucapku,mataku mulai berair.
'Bagaimana jika Mama meninggal?siapa yang akan merawatku nanti?' Berbagai pertanyaan hinggap dikepalaku.
Aku menunggu dengan cemas tak ada pikiran yang hinggap dihatiku selain tentang nasibku nanti dan tentunya Mama.
''Kamu nggak papa kan?'' Tanya seseorang yang berlari dilorong-lorong rumah sakit.
''Nggak..'' Jawabku singkat.Orang itu hanya diam.
''Cakka?kamu disini?'' Tanya-nya dengan bingung.
''Sudah daritadi,aku yang menemukan Mama Agni'' Ucapnya dingin.
''Tadi kamu kemana?'' Tanyaku mulai mengintrogasi.
''Nggak cuma kerumah temen'' Ucapnya ngeles.
''Oh gitu..'' Aku menatap nanar pintu dihadapanku.
''Sebaiknya aku pulang'' Ucap Cakka beranjak pergi.Aku memegang tanganya.
''Jangan pergi!bagaimana jika nanti Mama bangun?dan bertanya siapa penyelamat hidupnya?'' Tanyaku.
''Telpon saja nomerku'' Ujarnya dingin.
''Aku nggak punya nomer mu'' Ucapku lagi dengan tampang polos,tangannya pun tak kulepaskan.
''Udah masuk ke HP mu,aku pulang'' Ucap Cakka melepaskan cengkraman tanganku.
''Eeeeh,sebelumnya aku makasih banget ya sama kamu'' Ucapku menghentikan langkahnya.
''Ya'' Ujarnya berlari cepat.
''Ag..dia itu orang yang aneh ya'' Ucap orang disebelahku.
''Ya,memang mengapa?kau cemburu aku memegang tangannya?'' Tanyaku.
''Tidak!aku tak cemburu,untuk apa?kau adalah miliku Agni'' Ucapnya sok romantis,aku menangapi dengan biasa.
''Ooooh'' Ucapku lagi.

***

Aku berangkat sekolah dengan lunglai.
Sampai saat ini Mama belum juga melewati masa kritisnya.
''Gimana Mama kamu Ag?'' Tanya Zahra.Aku duduk desebelah Zahra dengan lemas.
''Tak baik!'' Ucapku air mataku pun mulai menetes.
''Yang sabar ya Ag'' Ucapnya memberi semangat.
''Makasih banget ya Zah kamu udah jadi sahabat baikku'' Ucapku walau tanpa senyuman.
''Sama-sama'' Ucapnya.
'Tok..Tok..Tok'
Tiga orang mengetuk pintu lalu mengahmpiriku dan Zahra.
''Hy Ag..'' Ucap seseorang yang tengah.
''Hy,juga kak'' Ucapku lemas.
''Katanya Mama kamu jadi korban tabrak lari ya?'' Tanya yang kanan.
''Iya kak'' Ucapku lemas.
''Kami turut sedih ya'' Ucap bertiganya tulus.
''Makasih ya kak'' Ucapku.Ya,mungkin kalian tak pernah tau siapa mereka!ya mereka adalah 'Three Twins' suatu grup yang sangat populer dengan anak-anaknya yang sanget cantik dan sangat baik kepada kami,mereka pun tak memandang orang miskin atau kaya,orang jelek atau cantik,dll.Mereka bertiga pun mempunyai pacar semua!yang kiri : Shilla punya pacar namanya Iel katanya Iel adalah temen kecilnya dulu.yang kanan : Ify punya pacar namanya Mario dulu katanya mereka sempet musuhan gitu tapi malah jadi pacaran.Dan yang tengah : Via dia pacarnya Alvin katanya mereka kenalan di Mini Bus.
''Sama-sama,eh kita balik dulu ya Ag!'' Ucap yang Shilla.
''Ya..'' Ucapku lagi.
Three Twins keluar!
''Ag,aku kagum deh sama mereka'' Kata Zahra tiba-tiba.
''Kagum?'' Tanyaku.
''Iya'' Ucapnya.
''Kok.'' Ucapanku terpotong.
''Mereka itu kaya raya tapi baik banget ya'' Ucapnya ''Aku pingin deh kayak mereka'' Ucapnya lagi kali ini dengan senyuman diwajahnya.
''Jadi aja dirimu sendiri Zah..'' Ucapku.
''Aku hanya.'' Ucapan Zahra terpotong.
''Hanya ingin meniru sifatnya yang baik hati bukan?'' Tanyaku.Zahra mengangguk.
''Kamu udah baik hati banget kok Zah'' Ucapku tulus.
''Makasih!'' Ucapnya tersenyum manis.

***

''Hey!'' Ucap seseorang.
''Loh?Tian?'' Ucapku heran,tadi sebelum kekantin rumah sakit aku disini bersama Cakka.
''Kenapa?'' Tanya nya.
''Cakka mana?'' Tanyaku celingukan.
''Tadi dia ada disini tapi aku suruh pulang'' Ucapnya nyengir.
''Atas dasar apa kamu nyuruh dia pulang?'' Tanyaku ketus.
''Agni!aku ada disini aku ini bisa jagain Mama kamu!'' Ucapnya.
''Apa?bisa jagain?'' Nada ucapanku mulai meninggi.
''Iya!'' Ucapnya mantap.
''Jagain Mama?yakin kamu dengan kata-katamu?sudah aku tak ingin melihatmu lagi pintu keluar aku kasih buat kamu!'' Bentakku,orang-orang yang ada disepanjang koridor rumah sakit melihat kearahku.Tian tersentak kaget.
''Cepat pergi!'' Ucapku.Tian pergi dengan menutup wajahnya.
''Untuk apa kamu mengusirnya?'' Tanya seseorang dibelakangku.Aku tersentak kaget lalu berbalik.
''Aku hanya kesal karena dia telah mengusirmu'' Ucapku terduduk.
''Sudahlah!'' Ucapnya.''Dia yang pacarmu bukan aku'' Ucapnya lagi.
''Dia memang pacarku tapi dia nggak berhak ngsir kamu!pake sok gaya-gayaan sok bisa jaga Mama lagi!'' Ucapku menatap sepatuku.
''Aku mau pulang!'' Ucapnya.
''Eeeeh Cakka!kenapa tadi nggak kesekolah?'' Tanyaku.
''Malas'' Ujarnya cepat lalu berjalan dengan santai.

***

Dering HP membuatku membuyarkan semua lamunanku tentang Mama.
Dari Dokter Goldi.

Dokter : ''Halo Agni?''
Aku : ''Iya dok!bagaimana dengan keadaan Mama?'' 
Dokter : ''Mama kamu sudah sadar,maka dari itu saya telpon ke anda''
Aku : ''Mama?sadar?''
Dokter : ''Iya,Mama kamu sudah sadar!ini adalah mukjizat Tuhan Agni''
Aku : ''Ya dok,saya tau itu!kalau begitu saya akan bergegas kesana''
Dokter : ''Ya!''

'Tit!'

''MANG!Anterin Agni ke Rumah sakit!'' Teriakku dari atas.

***

Aku berlari dengan kencang di koridor rumah sakit.
''Cakka?'' Tanyaku heran.
''Dokter telp aku sebelum kamu'' Ucapnya menatap jendela kamar Mama.
''Ooooh,kenapa tidak masuk?'' Tanyaku.
''Mama mu tak mengenalku,jadi lebih baik kamu masuk lebih dulu'' Jawabnya.
''Ya sudah!'' Kataku dengan semangat'45.

''Mama!'' Kataku saat masuk kamar.
''Agni!sini nak,Mama rindu'' Ucapnya lemah.Aku menghampiri Mama.
''Huaaaa,Mama'' Aku menangis sejadi-jadinya.
''Sudahlah nak,Mama ada disini'' Ucapnya membelai rambutku.
''Agni takut Ma..'' Kataku manja.
''Mama ada disini sayang!'' Katanya lembut.
''Mama,apakah Mama tau siapa peri penolong nyawa Mama?'' Tanyaku.
Mama mengelengg ''Tidak,tapi Mama ingin tau!'' Ucap Mama tegas.
''Namanya Cakka Ma,anak kelas 8-1'' Ucapku tersenyum.
''Sudah,tak penting memikirkan nama atau kelas seseorang,yang penting Mama ingin lihat orangnya'' Kata Mama membelai punggungku.
''Ehehe'' Aku nyengir lebar.
Aku berjalan kearah pintu.Lalu menyembulkan kepalaku di antara dua pintu.
''He?kok nggak ada?'' Tanyaku pada diri sendiri.heran.
''Kenapa Ag?'' Tanya Mama.
''Orangnya nggak ada'' Kataku menutup pintu dan menghampiri Mama.
''Ya sudah,mungkin pulang'' Kata Mama tersenyum.

***

''Cakka!'' Teriakku saat melihat Cakka bermain basket.Yang dipanggil hanya menengok sebentar lalu memasukan bola ke ring.Aku duduk dikursi penonton.
''Kamu kemaren kemana?'' Tanyaku bersender pada kursi diatas.
''Pulang'' Jawabnya cuek.
''Kenapa pulang,padahal Mama mau ketemu kamu loh'' Kataku tersenyum.
''Capek'' Ucap Cakka sambil menjatuhkan bolanya lalu pergi keluar lapangan basket.
''Cakk..tungguin!'' Kataku berlari.Dan 'Bruuuk' aku terjatuh karena terpleset.Cakka terus berjalan sampai menghilang ditikungan jalan.
''Hey!'' Teriakku menahan sakit.Aku mencoba berdiri dan berjalan sendiri kearah UKS.
Berhasil!Saat aku sampai diUKS aku menemukan Cakka disana.
''Cakka?'' Tanyaku.Cakka menengok.
''Apa?'' Tanya-nya dingin.
''Kok tadi langsung pergi?'' Tanyaku menyeret kaki mengambil betadine dan plester.
''Malas'' Jawabnya lalu pergi.
''Eh,tunggu!'' Aku memegang tangannya lagi.Cakka sama sekali tak menengok.
''Tolong,nanti pulang kamu keRumah Sakit'' Mohonku.
''Lihat nanti'' Ucapnya,tangannya masih kupegang erat.
''Lepasin tanganku!'' Kata Cakka dingin.
''Nggak sebelum kamu bilang 'Iya!'' Paksaku.Cakka berbalik kearahku.
''LEPASIN TANGANKU!'' Bentaknya.Aku tersentak kaget,tangan ku dengan lemas melepas pergelangan tangannya.Aku diam memandang dinding putih dihadapanku.

***

Aku berjalan dikoridor rumah sakit dengan wajah sangat amat murung.
''Maaf'' Ucap seseorang saat aku sedang lewat dihadapannya,dia menurunkan novelnya.Hash..Cakka.
''Untuk apa kamu kesini?kamu nggak maukan aku ajak kesini?jadi pergi aja sana!'' Usirku,menahan emosi.Cakka diam tanpa berbicara.
''Aku nggak mau dianggap ngomong sendiri'' Ucapku kesal dan langsung berjalan cepat kebangsal Mama dirawat.

''Mama Agni dateng!'' Aku tersenyum sambil mengangkat tinggi-tinggi kerajang ber isi buah yang tadi ku beli saat kesini.
''Agni,bawa buah buat Mama ya nak?'' Tanya Mama lembut.
''Iya dong Ma..'' Ucapku tersenyum lalu murung.
''Agni kenapa?'' Tanya Mama.Aku menggeleng.
''Nggak papa kok hanya capek'' Ucapku duduk disofa lalu menidurkan badanku disana.
''Ooo,ya sudah tidur aja'' Ucap Mama,menyalakan TV.

***

Aku berjalan ditrotoar jalan bersama adik sepupuku.Aurel. (Aurel menginap dirumah Agni *Jakarta* sampe 6 hari)
''Kak..kita mau ke ceblang ya?'' Tanya-nya yang memang kata-katanya masih sedikit celat.
''Iya,jangan lepasin tangan kakak ya!'' Aku memperingati Aurel.
''Iya kak'' Ucap Aurel menatap sebrang.
''Aaaaah,kak Aulel mau pemen loli dicitu'' Aurel mulai merajuk dan menunjuk pedagang permen loli diseberang.
''Sabar ya!Lagi rame banget jalannya'' Ucapku menatap kanan kiri tak terasa pegangan Aurel mengendur lalu Aurel berlari kearah sebrang,aku sadar itu saat aku lihat Aurel sedang berjalan dengan santai kesebrang,padahal dari arah kanan ada mobil jeep sedang melaju sangat cepat.
''Aureeeeeel!'' Teriakku menutup mata.
'CIIIIT,BUGH!' Terdengar suara riuh orang tertabrak dari arah tengah jalan.
Aku membuka mata,lalu berlari kearah kerumunan banyak orang ditengah jalan.
''Misi!'' Teriakku lantang.
Aku sampai ditengah dengan air mata berlinang.
Daaaaaan..yang kutemukan disitu bukan Aurel.
''Anakku!'' Teriak seorang ibu lantang.
''Cepat bawa rumah sakit bu!'' Kataku.
''Iya,tolong!'' Teriaknya.
Anak itu segera dibawa keRumah Sakit..
'Kalau bukan Aurel yang tertabrak lalu dimana Aurel?' Batinku dalah hati.
Aku menatap seorang anak berkucir dua,rambut keriting dan anak itu masih kecil.Wajahku terlihat berseri-seri.
''Aureeeeeel'' Teriakku lantang.Anak itu menengok.
''Akakak'' Ucapnya nyengir.
''Kamu nggak pa-pa kan?'' Tanyaku khawatir.
''Nggak!untung ada akak ini kalau nggak,Aulel udah nggak ada kak'' Ucapnya tersenyum senang sambil menarik baju lelaki tersebut,lelaki tadi sedang membayar permen loli milik Aurel sekarang.
''Makasih banget ya!anda sudah menyelamatkan adik saya'' Ucapku sopan.
''Ya'' Ucapnya sembari berbalik kearahku.
''Cak..cakka?'' Tanyaku terkejut.
''Ya'' Ucapnya memasukan uang kembalian pada dompetnya.Aku teringat saat-saat dia membentakku.
''Ayo Aurel kita pulang'' Ajakku kasar pada Aurel.
''Ndak mau!'' Teriak Aurel.
''Aurel,kita pulang sekarang'' Bentakku,Aurel hanya bersembunyi dibalik Cakka.Aku menggeret tangannya.
''Bukan gitu mengajak anak-anak pulang'' Ucap Cakka.
''Aaaaah,bukan urusan kamu'' Bentakku kasar pada Cakka,yang jelas-jelas telah menolong nyawa Mama,aku memang saat itu sangat-sangat terbawa emosi.
''JANGAN BENTAK ANAK KECIL!'' Bentak Cakka padaku.Aku tersentak kaget kembali.
''Aaaah terserah kamu mau pulang atau nggak kakak nggak ngurusin kamu lagi!'' Ucapku berlari dengan berlinang air mata.
''Akakak!'' Teriak Aurel memegang tanganku.
''APA?IKUT SANA SAMA CAKKA!'' Bentakku.Aurel menangis.
''Nangis aja sana!'' Aku melepas pegangan tangan Aurel lalu mencegat taxi yang sedang melintas.

***

Aku bersender pada bangku taman.
Menangis dan menunduk disana,sambil menendang-nendang sebuah batu kecil disekitarku.''Hey!'' Sapa seseorang.Aku menangkat muka.Hash Cakka!.
''SEMPET -SEMPETNYA KAMU BILANG 'HEY' KE AKU!'' Semprotku saat tau itu adalah Cakka.
Aku langsung berjalan menuju rumah!.

***

''Agni!'' Teriak Mama.
''Apa?'' Tanyaku malas.
''Kenapa kamu meninggalkan adik sepupumu pada Cakka temen sekolah kamu?'' Semprot Mama.
''Dia sendiri yang nggak mau pulang'' Ucapku benar-benar kesal.
''Hiksss..hiksss'' Terdengar suara orang menangis diruang makan.
''Kamu harus nya menjaga Aurel'' Ucap Mama kesal.
''Iya!Agni tau,tapi Agni nggak mau berurusan sama dia lagi'' Kataku ketus Sambil menunjuk Aurel.''Agni!'' Teriak Mama.
''Agni capek mau tidur'' Ujarku ngeloyor pergi keatas kamar.
''Agni!'' Teriak Mama.

''Apa salah?apa salah?'' Gumamku menangis.
''Kenapa?atau aku yang terlalu jahat?'' Aku menangis tersedu.
''Aku hanya ingin nggak berurusan sama Cakka,orang yang udah ngebentak aku dan buat aku benci namun jatuh cinta sama dia'' Aku merebahkan diriku di kasur.
''Sampai kapan aku kayak gini?Ya Tuhan,bantu aku!'' Ujarku mulai menangis

***

Kabarku sifatku yang berubah mulai menyebar kemana-mana.Banyak isu yang bilang 'Agni,seseorang yang baaaaik banget sekarang malah menjadi orang yang gampang kepancing emosinya.Kenapa ya?'
''Arggggh'' Aku mengerang kesal mengingat kejadian tadi disekolah.
'Tok..Tok..Tok'
Seseorang mengetuk pintuku.
''Siapa?'' Tanyaku.
''Aulel'' Jawab orang disana.Aurel masuk!.
''Ngapain kamu kesini?'' Tanyaku ketus.
''Maaf in Aulel kak'' Ucapnya merasa bersalah.Aku menatapnya kasihan.
''Aurel nggak salah kok yang salah kakak,gampang kepancing emosi'' Jawabku lembut,sambil membelai rambut Aurel yang ikal gantung.Aurel tersenyum ''Aulel kak yang salah,Aulel nggak mau nurut kakak yang lebih tau cituaci'' Ucapnya lucu.Aku terkekeh.
''Iiiiih,Aurel pinter ngomong iiih,belajar darimana?'' Tanyaku tertawa kecil.
''Dari Kak Cakka'' Kata Aurel mengerjapkan matanya.Tawa kecilku hilang.
''Aulel calah ngomong?'' Tanya Aurel mendongak kebawah.
''Nggak kok!'' Ucapku tersenyum.
''Makan yuk kak!'' Ajak Aurel menarikku keruang makan.

***

Aku berjalan dalam kesendirian..
Aku mencoba..Tak mengingatmu, Tak mengenangmu
Aku t'lah hancur lebih dari berkeping-keping
Karena cintaku, Karena rasaku
Yang tulus padamu

Begitu dalamnya aku terjatuh
Dalam kesalahan rasa ini

Jujur aku tak sanggup, Aku tak bisa
Aku tak mampu dan aku tertatih
Semua yang pernah kita lewati
Tak mungkin dapat kudustai
Meskipun harus tertatih

(Kerispatih-Tertatih)

Aku selesai mengalunkan sebuah lagu.
''Sampai kapan aku kayak gini?'' Desahku.
''Keren Ag..'' Ucap seseorang.Zahra.
''Kamu denger itu semua?'' Tanyaku terkejut.Orang itu mengangguk.
''Buat siapa Ag?'' Tanya Zahra lagi.
''Nggak buat siapa-siapa'' Ucapku menutupi-nutupi.
''Terus kata-kata 'Sampai kapan aku kayak gini' itu buat siapa?'' Tanya Zahra,terus mendesakku.
''Nggak bat siapa-siapa Ra..'' Ucapku keluar ruang musik.
''Ayolah Ag,katanya sahabat'' Desak Zahra.
''Belum saatnya kamu atau siapapun tau!'' Ujarku ngeloyor pergi.

''Agni..pliiis,jawab dong'' Zahra terus mendesakku daritadi.
''Zahra udah aku bilang,belum saatnya kamu atau seseorang pun tau!'' Ujarku mengepalkan tangan,lalu menaiki mobil,kebetulan hari ini aku dijemput oleh mobil.
''Yah,Agni pelit'' Zahra mencibir.
''Biar,bweeeek'' Aku menjulurkan lidah,untung saja kabar tentang sifatku yang berubah sudah diganti menjadi sifatku yang seperti biasa.

***

''Aureeeeeel'' Teriakku saat melihat Aurel bermain barbie didepan rumah.
''Akakak,Aurel nunggu lama loh!'' Ujar Aurel lucu.
''Lama ya?maaf deh kalau gitu!'' Ucapku,lalu menggandeng tangan Aurel kedalam rumah.

''Ma..Agni pulang!'' Teriakku.
''Waaaah,kayaknya anak Mama udah sembuh nih?'' Canda Mama.
''Sembuh apalagi?'' Tanyaku heran.
''Lupain aja'' Ujap Mama terkekeh.
''Oh iya Ma,Mama masak apa?'' Tanyaku mengelus perut.
''Masak sayur Asem,dan teman-temannya.Makan sana'' Ucap Mama membelai rambutku.
''OK Ma,Agni ganti dulu ya!'' Ucapku menaiki tangga.

***

''Agniiiii!'' Teriak Zahra.
''Apa?'' Tanyaku.
''Aku masih penasaran sama yang kemaren'' Ucap Zahra mengikutiku kearah tempat duduk.
''Yang mana?'' Tanyaku pura-pura nggak tau.
''Agni,jangan pura-pura nggak tau deh!'' Keluh Zahra kesal.
''Nanti juga tau'' Ujarku menaruh tas dengan senyuman mengembang.

Aku menatap nanar kearah lapangan basket.''Ag?liat apa sih kamu?'' Tanya Zahra penasaran.Aku segera mengalihkan pandangan ''Aku nggak lihat apa-apa kok'' Ucapku tersenyum.
''Eh iya gimana kabarmu sama Septian?apa yang kamu maksud dikata-kata kamu kemaren itu Septian?'' Tanya Zahra.
''Bukan kok,nggak ada sangkut pautnya sama orang yang aku maksud.Aku mau putusin Septian akhir pekan ini'' Ucapku.
''Hah?kamu putusin Tian akhir pekan ini?'' Tanya Zahra dengan lantang,semua orang yang ada dikantin melihat kearahku.Aku menutup mulut Zahra.Orang-orang langsung kembali keaktivitas masing-masing.
''Hfffmfff'' Zahra nggak bisa bernafas.
''Kalau ngomong pelan-pelan'' Ucapku sambil melotot.Zahra memukul-mukul tanganku.
''Aduh'' Erangku saat Zahra memukul dengan sangat keras.
''Iiiih Agni,aku nggak bisa nafas tau!kalau mati gimana?'' Tanya Zahra kesal.
''Maaf'' Ucapku.
''Jadi kamu mau mutusin Tian akhir pekan ini?berarti 3 hari lagi dong?atas dasar apa sih kamu mutusin Tian?'' Tanya Zahra bingung.
''Udah nggak punya perasaan sama dia,daripada digantungin kayak gini mending diakhirin deh'' Ucapku mengaduk-aduk minumanku.
''Yakin Ag?'' Tanya Zahra.
Aku menangguk pelan.
''Ya udah,aku cuma dukung aja!'' Zahra menyemangatiku.

***

''Aduh'' Ucapku.
''Kenapa Ag?'' Tanya Zahra.
''Buku PRku ketinggalan,aku ambil dulu deh'' Ucapku,berlari kearah kelas.
''Ya udah aku tunggu disini ya'' Ucap Zahra.

Aku mengambil buku di loker mejaku.
''Untung saja tidak tertinggal'' Ucapku tersenyum.Aku melihat penjuru kelas.KOSONG.
'Kemana yang piket?' Batiku heran.'Ah sudahlah' Batinku berlalu.
Aku melewati ruang musik.
Terdengar alunan nada dari sebuah gitar disana.Karena penasaran aku membuka sedikit ruang musik.Terdapat seseorang disana,namun tertutup oleh piano.Aku mencoba melihat siapa orang itu.
''Ag..?'' Ucap seseorang.
''Eh iya?'' Tanyaku membalikan badan.
''Ngapain disini?'' Tanya-nya balik.
''Eh..tidak hanya,mau ngadem aja'' Ucapku nyengir.
''Dasar!aku nungguin kamu sampe lumutan tau!'' Ucap orang itu menghentakan kaki.
''Iyaaaa,sorry'' Aku mengacungkan kedua jariku.
''Ya udah!ayo pulang,mau ujan..nanti kita kehujanan'' Ucap Zahra menarik tanganku.

***

''DOOOOR'' Teriak seseorang dibalik pintu saat aku melangkahkan kaki memasuki rumah.
''Eeeeeeh?'' Ucapku kaget.Orang itu melongokan kepalanya keluar pintu.
''Aureeeel'' Ucapku gemas.
''Ehehe,akakak capek ya?'' Tanya Aurel.
''Iya'' Jawabku duduk.
''Kenapa?'' Tanyaku lagi.
''Kata Bdhe,Aulel suluh bikin akakak hilangin capek'' Ucap Aurel dengan logat khasnya.
''Oh ya?mau ada apa?'' Tanyaku tersenyum.
''Aulel nggak tau'' Ucap Aurel memijit lenganku.
''Ahaha,iya deh'' Ucapku menyipitkan mata.

'Tok..Tok..Tok'
Suara ketukan pintu membuatku terbangun.Aku membuka pintu kamarku.
''Eeeeeh,Mama'' Ucapku masih setengah tidur.
''Ya ampun Agni,ini udah jam lima sore..kan Mama udah bilang nanti malem mau ada acara'' Ucap Mama,memegang rambutku.
''Aaaah,iya..Agni mandi'' Ucapku males-malesan menutup pintu

''Agniiii!'' Teriak Mama dari bawah.
''Iya!Agni tinggal make sepatu'' Ucapku memakai sepatu high heals. (Ceritanya Agni fenimin)
''Cepetam dikit dong,jangan males-malesan gitu..Ini acara penting Agni!'' Tegas Mama saat aku turun.
''I know this Mom'' Ucapku.
''Nah kalau udah tau kenapa masih lelet gitu?'' Tanya Mama kesal.
''Ehehe,Aurel ikut Ma?'' Tanyaku sambil nyengir.
''Ikut udah dimobil,tapi tante nggak ikut,katanya jaga rumah'' Ucap Mama.
''Oooo'' Ucapku berjalan kearah mobil.

***

Aku memasuki gedung megah dihadapanku.RAMAI.Hanya itu kata-kata yang bisa kulontarkan.
''Ayo masuk'' Ucap Mama.Aku menurut.
''Hay,jeng'' Sapa Mama.
''Hay juga jeng,eh ini anaknya ya?'' Tanya Orang tadi.Mama mengangguk.
''Dua jeng?'' Tanya orang tadi lagi.
''Yang satu ponakan!'' Kata Mama tersenyum.
''Pamit dulu ya jeng'' Pamit orang tadi pergi.
Aku,Mama,dan Aurel kembali menjelajah gedung ini.
''Hy jeng'' Sapa Mama sambil duduk dimeja.
''Hy juga jeng'' Sapa orang-orang yang ada disana.
Mama mengobrol dengan teman-temannya,sedangkan aku dan Aurel hanya mengobrol nggak penting.
''Oh,iya ini anak saya jeng nama nya Cakka'' Kata teman Mama (Yang mengadakan acara ini),memperkenalkan anaknya yang baru saja hadir.Aku yang sedang bermain dengan Aurel tersentak kaget.Aku mendongakan kepalaku dan ada Cakka disana.
''Loh?Cakka anak jeng?'' Tanya Mama.
''Iya,kenapa jeng?'' Tanya teman Mama.
''Dia,temannya Agni!saya juga sudah pernah bertemu Cakka'' Ujar Mama,terselip senyuman diwajah Mama.
''Ma..Agni keluar ya!sumpek'' Ucapku alasan.
''Loh kok keluar sih?'' Tanya Mama bingung.
''Agni sumpek Ma..'' Ucapku dengan melas,Cakka menatap lurus kedepan dengan wajah dingin.
''Panas ya Agni?'' Tanya Mama Cakka dengan lembut.
''Iya!'' Jawabku.
''Hm..tante suruh pelayan untuk menaikkan suhu AC ya?'' Ujar Mama Cakka bangkit.
''Oh,tidak perlu tante biar saya keluar saja!lumayan mencari udara sejuk malam hari'' Balasku cepat.
''Ya sudah..ajak Aurel ya!'' Ucap Mama.
''Ya!'' Jawabku menarik tangan Aurel kedepan gedung.

***

Aku duduk di kursi taman depan gedung megah itu.Mencoba menghilangkan seorang Cakka dipikiranku,tadi Cakka memang sangat tampan bahkan Irfan bachadim kalah!.Aku terdiam dalam pikiranku sendiri,sampai suara Aurel terdengar.
''Akakak kenapa ngajak Aulel kelual?'' Tanya Aurel heran.
''Aaaaah tidak hanya panas'' Jawabku mengibas-kibaskan tangan didepan muka.
''Ooooh ya cudah,eh Akak..Aulel mau ambiy minum didalem ya!'' Pamit Aurel.
''Eeeeeeh,kakak temenin ya!'' Jawabku cepat,namun Aurel sudah berlari duluan kedalam gedung.
Lama Aurel mengambil minuman.'Aaaah mungkin Aurel menghampiri Mama' Batinku cepat sebelum banyak pikiran negatif di hatiku.Tiba-tiba seseorang duduk disampingku.Aku menengok keseblahku.
''Mau apa kamu kesini?'' Tanyaku ketus.
''Aurel sudah didalam sama Mama mu'' Ucapnya menatap lurus kedepan.
''Oh!'' Jawabku.
-HENING-
'Aduh Cakka ngapain sih kesini segala?aku kan pingin menghilangkan kamu dari pikiranku saat ini' Keluhku dalam hati.
''Aku kesini disuruh bukan karena aku mau sendiri!'' Tegas Cakka seakan membaca pikiranku.Aku tak menjawab.
''Sudah sana,masuk!'' Usirku.
''Aku ingin disini!udara disini lebih sejuk dibanding didalam'' Jawab Cakka.
''Aku ingin masuk,disini terlalu dingin'' Ucapku datar,lalu beranjak pergi.Tiba-tiba tanganku dipegang oleh Cakka.Aku tersentak kaget,lalu menoleh sekilas.
''Apa?'' Tanyaku,nada suaraku seperti dibuat-buat agar terlihat biasa saja.
''Temani aku disini!'' Ucap Cakka menatap lurus kedepan,genggaman tangannya terlepas begitu saja.
''Terlalu dingin!'' Elakku.
''Akan ku genggam tangan mu!'' Ucap Cakka datar.Aku duduk disebelah Cakka dengan salting.Seperti ucapannya tadi tanganku di genggam erat oleh Cakka.Rasanya aku tak ingin lepas dari saat-saat itu.

***

Aku menatap dua orang disana dengan wajah cemburu.Ingin sekali menangis.
''Bye,Kka..semoga berhasil!'' Teriak seorang cewek berambut panjang berlari kecil,dan menghilang ditikungan.Aku mengintip dengan air mata yang sudah ku bendung sejak tadi.
Cakka berjalan dengan santai kearah kantin.
''Kenapa masti jatuh cinta sama Cakka,yang udah sama Oik'' Gumamku menangis.

***

Aku duduk dengan perasaan kecewa di kursi taman.Sedih memikirkan seorang Cakka.
'Duk!' Batu yang ketendang mengenai kaki seseorang.Aku menangkat kepala,lalu mendundukannya lagi.Seseorang duduk disebelahku.
''Mau apa?'' Tanyaku ketus.
''Cuma,duduk!'' Ucap orang itu menatap kedepan.
''Kamu ngikutin aku atau bagaimana sih?'' Tanyaku kesal.
''...'' Tak ada jawaban.
''Aku nggak lagi ngomong sama orang bisa kan?'' Tanyaku tambah kesal.
''Tidak..'' Ucap Cakka.
''Aku pulang!'' Ucapku.
''Jangan!Aku mau ngomong sama kamu'' Ucap Cakka serius.Membuatku menghentikan langkah
''Nggak ada waktu,aku harus mengantar Aurel keBandara!'' Ucapku berlari pergi.

***

'Tok..Tok..Tok'
''Agni pulang!'' Teriakku.
''Ayo nak kepakkan baju-baju mu!'' Ucap Mama dari atas.
''Mama,ngomong apa sih?ngaco deh!'' Ucapku bingung.
''Aurel sama Tante udah berangkat keAussie dari 2 jam yang lalu,dan sekarang Mama dipindah tugaskan ke Aussie selama 5 tahun'' Ucap Mama buru-buru.
''Hah?'' Tanyaku.
''Iya,mendadak!'' Jawab Mama cepat.
''Haruskah Agni ikut Ma?'' Tanyaku.
''Ya harus!kamu disini nggak ada yang mengurus Agni!'' Tegas Mama.
''Kan bisa nge kos!'' Jawabku memelas.
''Agni!'' Mama melotot.
''Iya!'' Dengan lemas aku berjalan kearah kamar dan mengepak barang-barang.

***

Aku berjalan dengan lunglai kearah taxi.Berhenti sejenak didepan pintu taxi sebelum aku masuk kedalamnya dan meninggalkan Jakarta.Aku menangis harus,setitik air mata mulai jatuh.Aku mengusap air mata itu dengan perlahan.
''Bye!'' Ucapku.
''Bye Cakka,semoga kamu dapat yang lebih baik dariku!'' Ucapku,butiaran air mata mulai jatuh kembali.
''Agni,ayo nak!'' Ucap Mama dari dalam taxi.Aku mengangguk kecil.
Lalu masuk kedalam taxi.
'Walau saat aku kembali nanti,aku tau kamu bakal dapat yang lain Kka,tapi dalam lubuk hatiku yang paling dalam aku tetep cinta sama kamu' Batinku.

***

''Agni!!'' Teriak seseorang saat aku akan chek-in didalam.Aku membalikkan badan.Dan orang itu berhenti tepat dihadapanku.
''Cakka?'' Tanyaku kaget.Orang itu mengangguk.
''Ngapain kamu kesini?'' Tanyaku.
''Aku cuma mau bilang.'' Ucapan Cakka terhenti.
''Bilang apa?'' Tanyaku gugup.
''Aku cuma mau bilang 'aku suka sama kamu'' Ucap Cakka menatapku dalam.Mama hanya diam melihatku dan Cakka.
''Jadi?'' Tanyaku.
''Kamu mau jadi pacarku?'' Tanya Cakka,aku menatap Mama.Mama mengangguk ''Pesawatnya masih sejam lagi kok Ag..'' Jawab Mama enteng.
''Agni nggak tanya itu!'' Ucapku.
''Lalu?'' Tanya Mama.Aku melirik kearah Cakka.Mama tersenyum ''Semua terserah Agni'' Ucap Mama kemudian.Aku menatap Cakka lirih.
''Aku bakal ke Aussie Kka'' Balasku menunduk.
''Aku bakal tunggu kamu!'' Lirih Cakka memegang tanganku.
''Jadi?'' Tanya Cakka.Aku mengangguk.
''Asalkan kamu mau tunggu aku sampai 5 tahun nanti'' Tambahku kemudian.
''Aku bakal tunggu kamu Ag!'' Ucap Cakka.

***

5 Tahun Kemudian.

2 Bulan terakhir aku dan Cakka Lost Contacs..
Aku memasuki rumah lamaku.Lalu merebahkan diri dikursi.
''Mama,keatas ya Ag..'' Ucap Mama pergi.
''MAMA AGNI KERUMAH CAKKA YA!'' Teriakku lantang.
''Ya!'' Teriak Mama.

***

''Nih Pak!'' Ujarku memberi uang untuk taxi.
Aku menatap rumah yang berdiri kokoh dihadapanku,memang aku tidak pernah kesini,tapi aku pernah diberi tahu oleh Cakka lewat Yahoo.Mail.
'Tok..Tok..Tok'
Aku mengetuk pintu.
Kelurlah sosok wantia paruh baya sangat cantik,namun matanya sangat sembab.
''Kamu siapa?'' Tanya Wantia itu.Teman Mama.Mama Cakka.
''Saya Anak Bu Winda tante'' Ucapku sopan.
''Kamu Agni?'' Tanya Mama Cakka.
''Iya tante!'' Jawabku sopan.
''Mari masuk!'' Ajak Mama Cakka.
''Iya tante'' Jawabku.

''Jadi tante?Cakka kemana?'' Tanyaku.
''Cakka nggak ada disini'' Jawab Mama Cakka.
''Lalu?'' Tanyaku.
''Mari ikut saya'' Mama Cakka menggeretku.

***

''Disini Cakka'' Ucap Mama Cakka menangis.
''Tante?'' Tanyaku,air mataku mulai turun.
''Ya Agni!'' Jawab Mama Cakka tersedu.
''Cakka?'' Tanyaku.
''Ya Ag,Cakka meninggal disebabkan Kanker Otak yang dideritanya sejak SMP'' Jawab Mama Agni.Aku menangis sangat deras.Hujan pun mulai turun.
''Mari Ag!kita pulang'' Ajak Mama Cakka.
''Tidak tante,silahkan tante duluan!saya masih ingin disini!'' Ucapku mengusap nisan dihadapanku.
''Kamu yakin Ag?'' Tanya Mama Cakka lirih.Aku mengangguk.
Mama Cakka pun pergi.
''Kka,walau kamu nggak ada disini!aku tetep cinta sama kamu kka,aku sayang sama kamu!'' Teriakku lantang ditengah derasnya hujan.
''Makasih kka kamu udah jadi pengisi hatiku!'' Ucapku menangis.Lalu meninggalkan Cakka beristirahat dengan tenang disana.

***

HOOOORE,SELESAI!
Kasian saya buat 3-4 hari-_-
Ehehe..
Baca?Komment
Kalau baca..
Kurang lengkap tanpa komment ;)

Touché (Part 3) by: Windhy Puspitadewi

Sekali lagi ini bukan buatan saya ya! Ini murni COPAS.
----

"Saya ingin memulai pembicaraan ini dengan satu pertanyaan bodoh," kata Ify, masih terkagum-kagum dengan rumah Pak Duta. "Tapi saya sangat ingin tahu enak nggak sih jadi orang kaya? Maksud saya, kita sering mendengar atau membaca pewaris perusahaan besar mendapat tekanan sejak kecil, nggak happy, hidupnya diatur dan seterusnya sehingga ingin hidup normal sebagai orang biasa. Is it true atau mereka hanya berusaha menjadi drama queen?"

Pak Duta tertawa.

"Kau terlalu banyak nonton sinetron," katanya, masih tergelak. "Are you kidding me? Being rich is a wonderful thing! Aku bisa mendapatkan semua yang kumau, pergi ke semua tempat yang bisa kukunjungi, dan banyak orang rela membunuh untuk bisa berada di posisiku. Dengan apa yang kumiliki itu, mana mungkin aku mau menukarnya hanya agar bisa hidup sebagai orang biasa? You must be joking!"

"Nice,
" kata Iel kagum. "Sepertinya Rio bahkan tidak perlu menyentuh Bapak untuk mengetahui apakah Bapak berbicara jujur atau tidak."

"Karena kau menyinggungnya, mungkin sebaiknya kita mulai saja," kata Pak Duta setelah meminta semua pelayan pergi dari ruangan itu.

"Selama ini kalian pasti punya segudang pertanyaan menyangkut kemampuan yang kalian miliki itu, right?" Pak Duta memulai. Mereka bertiga mengangguk.

"And still no answer," kata Iel.

"Not even from the internet," timpal Ify.

"Hingga Bapak menceritakan pada kami," kata Iel lagi lalu melirik Ify. "Tapi belum pada Ify."

"Kemampuan kita ini diturunkan," lanjut Pak Duta. "Walau tidak pada tiap generasi."

"Kita?" ulang Ify. "Memangnya apa kemampuan Bapak?"

Pak Duta mendekati piano tua yang ada di ruangan itu lalu duduk di depannya. Dia menyentuh tutsnya selama beberapa saat dan mulai memainkan The Nutcracker dari Tchaikovsky.

"Sejujurnya," katanya sambil terus memainkan piano, "aku juga tidak bisa membaca not balok. Aku bahkan buta nada. Aku juga tidak pernah mengikuti les piano sebelumnya. Aku sudah memberitahukan hal ini pada Rio dan Iel."

"Jadi Bapak bisa memainkan lagu hanya dengan menyentuh alat musiknya?" Ify ternganga.

Pak Duta mengehentikan permainannya. Dia menatap Ify dengan tersenyum.

"Kemampuan kita tidak berjalan seperti itu," jelasnya. "Jadi walaupun kau membaca pikiran dan perasaan seseorang, pada kenyataannya yang kaulakukan adalah menyerap. Your touch absorbs other's mind or feeling, seperti halnya Iel menyerap tulisan. Hanya saja memang ada beberapa orang dengan pengecualian."

"Tunggu, apa kita masih berbicara dalam bahasa yang sama? Karena saya tidak mengerti apa yang Bapak katakan," kata Ify sambil mengernyitkan dahi.

"My abilty sama seperti kalian bertiga," Pak Duta bangkit lalu berjalan kembali ke kursinya semula. "My touch menyerap ingatan alat-alat musik itu akan permainan yang sebelumnya pernah dimainkan. Aku bisa memainkan The Nutcraker-nya Tchaikovsky karena sebelumnya sudah ada orang yang memainkannya menggunakan piano tua itu. Hal yang sama juga berlaku ketiak aku bermain biola di sekolah kalian."

"Jadi artinya, jika Bapak diminta untuk memainkan lagu dari alat musik yang benar-benar baru, Bapak tidak akan bisa melakukannya?" tanya Ify.

"Tepat," Pak Duta tersenyum. "Seperti itulah cara kerja kemampuan sentuhan milik kita, kaum t
ouché."

"TUSYE?"

"That's how we say it," Pak Duta membenarkan. "Tapi kita menuliskannya T-o-u-c-h-
é. It's a France word."

"Kalian sudah tahu tentang ini semua?" Ify mengalihkan pandangannya pada Rio dan Iel.

Iel mengangkat bahu. "Hanya sampai di situ."

"Bapak tidak sedang mengada-ada kan?" Ify kembali menatap Pak Duta dengan curiga.

"What for?" Pak Duta menghela napas. "Kemampuan kita ini sudah diturunkan secara acak dari generasi ke generasi. Aku sudah menyelidikinya dan memang kaum touch
é sudah ada sejak dulu. Kalian pasti tidak menyangka siapa saja yang termasuk kaum touché."

"Shoot!"

"Karl Friedrich May adalah
 touché," Pak Duta memulai.

"Penulis Winnetou dan Old Shatterhand itu?" Ify menatapnya tak percaya. "Bohong!"

"Kau pikir bagaimana dia bisa menceritakan dengan detail apa yang terjadi di Amerika padahal dia belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di sana?" Pak Duta menatap mata mereka. "Dia menggunakan sentuhannya untuk membawa pikirannya ke daerah itu."

"Dengan cara apa?" tanya Rio, pertama kalinya membuka suara sejak tiba di rumah Pak Duta.

"Surat kabar," jawab Pak Duta. "Dia menyerap kejadian dan pemandangan yang ditampilkan oleh foto maupun cerita di surat kabar itu tentang Amerika. Kalau tidak salah, saat membuat Winnetou dia sedang di penjara tapi dia diperbolehkan membaca surat kabar sebagai satu-satunya benda yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar."

Mereka bertiga menahan napas.

"Beethoven is a 
touché," Pak Duta melanjutkan.

"Bohong," desis Iel.

"Dia tuli, remember?" Pak Duta menatapnya. "Bagaimana seseorang bisa membuat lagu dalam keadaan tuli? Dengan sentuhannya, dia menyerap partitur sehingga dia bisa menemukan nada yang benar dan tidak. Dia tidak perlu menggunakan telinganya untuk itu, dia menggunakan tangannya."

"Lalu siapa lagi?" tanya Rio.

"Kau mulai bersemangat, ya?" Pak Duta tersenyum. "Berikutnya Flavio Blondo, dia adalah arkeolog abad pertengahan. Dia meneliti semua peninggalan Romawi abad pertengahhan dan dengan kemampuan sentuhannya, dia bisa merekontruksi kejadian pada masa itu."

"Apa yang dia lakukan?" tanya Ify.

"Dia menyerap ingatan bangunan," jawab Pak Duta. "Hampir sama dengan kemampuanku, hanya saja dia tidak melakukannya pada alat musik. Banyak orang yang punya kemampuan seperti ini dan aku berani bertaruh bahwa kebih dari setengah arkeolog terkenal adalah
touché."

"Masih ada lagi?" tanya Iel.

"Aku bisa memberimu jutaan nama," jawab Pak Duta. "Unfortunately, waktu kita tidak sebanyak itu jadi aku hanya bisa memberitahumu satu orang lagi. Dia adalah De. Joseph Bell."

"Siapa tuh?" tanya Iel.

"Inspirasi Conan Doyle untuk membuat Sherlock Holmes," Rio menjelaskan. "Dr. Joseph Bell adalah Sherlock Holmes di dunia nyata."

"Nice, obvioulsy you know a lot," puji Pak Duta. "Benar karakter Sherlock Holmes dan kemampuan analisisnya didasarkan pada Dr. Bell. Dr. Bell bisa melalukan deduksi hanya dari benda, bahkan menerka dari mana seseorang berasal hanya dari pasir di sepatunya dikarenakan dia adalah
touché. Dia menyerap ingatan benda-benda itu."

Pak Duta menyesap minumannya lalu memandang mereka. Mereka bertiga hanya diam, terlalu shock hingga tak sanggup berkata apa-apa. Semua informasi itu terlalu tiba-tiba dan terlalu banyak untuk dapat mereka terima.

"Kereeen..." gumam Iel. Matanya terlihat berbinar-binar.

"Lalu, dari mana sebenarnya kemampuan kami?" tanya Rio, wajahnya tetap dingin. Kalaupun shock, dia bisa menutupinya dengan baik.

"Sayangnya aku belum berhasil menemukannya," Pak Duta menghela napas. "Penelitianku juga masih belum menyentuh abad sebelum masehi. But i  found something."

"Kekuatan kita diturunkan secara acak dan tidak selalu pada tiap generasi," lanjutnya. "I mean, kalau kita memiliki kekuatan ini belum tentu ayah-ibu kita juga memiliki kekuatan yang sama sehingga kemungkinan mereka tahu tentang hal ini nearly zero percent. Bisa jadi generasi terakhir sebelum kita adalah kakek buyut kita."

Mereka terdiam.

"Dan apakan kalian tahu ada beberapa orang yang memiliki kemampuan seperti kita di luar sana?" tanya Pak Duta sambil melepas kacamatanya lalu menatap mereka bertiga yang langsung menelan ludah. "Thousands."

"Tersebar di seluruh dunia," dia menaruh gelasnya lagi ke meja. "Dan selama ini kalian merasa sendirian?"

"Seperti halnya bakat menulis, kemampuan sejenis dengan kita tidak diturunkan pada satu orang," Pak Duta melanjutkan. "Kemampuan menyerap tulisan seperti yang dimiliki Iel, di luar sana juga ada beberapa orang yang memiliki kemampuan yang sama. Milikku pun begitu, dalam pencarian saat melakukan penelitian aku menemukan beberapa orang yang memiliki kemampuan sepertiku."

"Berarti... bukan hanya aku saja yang punya kemampuan seperti ini..." Iel menatap kedua tangannya dengan wajah terkejut.

"Dengan pengecualian..." Pak Duta menatap Ify dan Rio. "The Mind reader and the empath. Dalam tiap generasi hanya ada satu orang yang memiliki kemampuan seperti kalian."

"HEEEEEEEEEE?" Ify dan Iel menjerit hampir berbarengan tapi Rio diam saja. Namun kali ini sorot matanya menunjukan keterkejutan yang sama.

"Aku sendiri juga tak tahu kenapa," aku Pak Duta. "Tapi dari penelitianku, selalu hanya ada satu orang mind reader dan satu orang empath. Orang yang terakhir memilikinya lahir pada abad ke-18, setiap tiga abad sekali lahir orang dengan kemampuan seperti kalian."

"Ini juga sebabnya banyak yang mengincar kalian," tambahnya.

"Mengincar kami?" ulang Rio.

"Yes, and especially you," jawab Pak Duta. "KGB, CIA, SAS, Mossad, dan lain-lain akan lebih mudah menentukan mana orang yang berbahaya dan tidak dengan kekuatanmu. Dengan alasan yang sama juga, kemungkinan organisasi-organisasi dan orang-orang jahat di muka bumi mengincarmu untuk dibunuh,"

"Bapak bercanda, kan?" Ify memaksakan diri untuk tertawa.

"Kalian pikir untuk apa aku tiba-tiba datang ke Indonesia?" Pak Duta menghela napas. "To warn you! Agar kalian lebih waspada dan lebih berhati-hati dalam menggunakan kemampuan kalian."

"Tapi bagaimana mungkin mereka tahu tentang kami?" tanya Iel. "Pasti tidak akan ada yang menyangka pemilik kemampuan yang hanya ada 300 tahun sekali itu ada di Indonesia."

Pak Duta mencondongkan tubuhnya ke depan dan memasang wajah serius.

"Kalau aku saja bisa menemukan kalian,  why don't they?" katanya. Mereka bertiga langsung membeku.

"Dari mana Bapak tahu tentang istilah
 touché?" tanya Rio tiba-tiba. "Apakah Bapak mengarangnya sendiri?"

Pak Duta tersenyum. "Aku menemukannya di tengah-tengah penyelidikan tentang kemampuanku. Aku membacanya di naskah asli buku Histoire de Ma Vie yang kudapatkan dari lelang pasar gelap."

Napas Rio tertahan. "Casanova."

"You do know a lot," Pak Duta mengangguk. "Dalam buku Histoire de Ma Vie atau History of My Life yang terbit dan beredar sekarang,
touché tidak perah disinggung karena penerbitnya menyunting habis-habisan agak tidak terjadi kontroversi di dalam masyarakat. As we all know, hal ini bukan sesuatu yang bisa dibuktikan dengan mudah dan pihak penerbit takut Casanova akan mengalami nasib sama seperti Joan of Ark yang mati dibunuh karena dianggap memiliki kemampuan sihir."

"Jadi Casanova
touché?" tanya Ify tak percaya.

"Yes," jawab Pak Duta. "And for your information, he was a mind reader, sama seperti Rio."

Iel dan Ify langsung mengalihkan tatapannya pada Rio.

"Jadi mind reader terakhir yang lahir di abad 18 yang Bapak maksud tadi itu Casanova?" tanya Iel.

Pak Duta mengangguk. "Di Histoire de Ma Vie versi asli dijelaskan bahwa itulah sebabnya dia bisa menjadi womanaizer, penakluk wanita, karena dia bisa membaca pikiran mereka."

"Ternyata begitu..." Ify terpana.

"Kenapa Bapak melakukan ini?" tanya Rio tiba-tiba setelah keheningan yang cukup lama. "Maksud saya, kenapa Bapak menolong kamu sampai sejauh ini?"

Pak Duta menatap Rio cukup lama sebelum menjawab.

"Aku hanya menolong kaumku," jawabnya. "Karena aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri seorang
touché mati dibunuh."

"EEEEEEEEEEEEEEEHHHHHHHH?" mereka serempak berteriak.

"Oleh siapa?" tanya Rio lagi.

"Musuh abadi kita," jawab Pak Duta.

"Paladine?" tanya Iel.

"Sort of."

"Tapi kita bukan Jumpers."

"Itu sebabnya kubilang 'sort of'."

"Kenapa dia dibunuh?" tanya Rio masih penasaran.

"He was data absorber," jelas Pak Duta. "Just like Iel hanya saja dia menyerap data digital, semacam hard disk eksternal berbentuk manusia. Ini fenomena baru karena sebelumnya belum pernah ada
touché yang memiliki kemampuan seperti itu. Apalagi di era digital seperti sekarang, kemampuan ini sangat berguna karena sekali sentuh dia dapat menyerap data yang paling rahasia sekalipun."

"Jadi karena itu dia diincar?" kali ini Iel yang penasaran.

"Yap!" Pak Duta mengangguk. "Bersyukurlah kau hidup di abad 21, jika kau hidup di abad sembilan belad aku yakin
touché dengan kemampuan sepertimulah yang diincar."

"Benar, aku harus berterima kasih pada ayah dan ibuku," Iel meneguk minumannya dengan lega. Ify tersenyum melihatnya.

"Setelah ini apa?" tanya Rio tiba-tiba. Mereka semua memandangnya.

"I beg your pardon?" Pak Duta mengernyit.

"Bapak bukan hanya datang untuk menjelaskan tentang siapa kami dan memperingatkan kamu untuk waspada, kan?" Rio menatap tajam Pak Duta.

Pak Duta terdiam sejenak lalu tersenyum.

"Kurasa terlalu sering membaca pikiran orang membuatmu belajar untuk melihat isi kepala mereka tanpa menyentuhnya ya," kata Pak Duta sambil tersenyum. "Ini pujian, terimalah."

Tak ada seorang pun dari mereka yang bicara.

"Kau benar, ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan pada kalian," dia menghela napas. "But I'll save it for the right time. Setelah ini, berlakulah dan jalanilah hidup seperti biasa walaupun..."

"Walaupun?" ulang Ify.

"Sepertinya tidak lama lagi kalian akan sadar hidup kalian tidak akan pernah sama lagi," Pak Duta masih tersenyum tapi matanya menatap tajam. "Banyak orang mungkin akan memilih untuk tidak tahu akan kebenaran agar mereka bisa hidup normal."

"Sepertinya tadi kami tidak diberi pilihan," kata Ify sinis. Benar! Setelah mengetahui semua ini, bagaimana mungkin aku merasa hidupku normal!

"My mistake," Pak Duta meminta maaf. "Seharusnya aku tidak mengatakan kebenaran itu, atau mungkin seharusnya sejak pertama aku tidak perlu datang ke Indonesia."

"Dan Bapak baru memikirkannya sekarang," kata Rio tajam.

Pak Duta mengangkat bahu. "Hey, you can't please everybody. Lagi pula ini juga untuk kebaikan kalian sendiri agar lebih waspada."

"Oh ya, ada satu lagi yang harus aku katakan," dia mengalihkan tatapannya pada Ify.

"Biasanya kemampuan
touché hanya diturunkan pada laki-laki."

"EEEEEEEEEEEEEEEHHHHHHHH?" sprontan Ify berteriak.


"Lalu kenapa Ify..." tanya Rio.

"Dengan pengecualian empath," Pak Duta tersenyum. "Aku juga ingin tahu, dari yg kuteliti sejak dulu empath selalu diturunkan pada wanita. Hingga sekarang aku belum mendapatkan jawabnnya."

"Jangan-jangan sebenarnya semua empath adalah perempuan jadi-jadian," Iel menatap Ify dengan wajah serius.

"Kau ingin mati muda ya?" gerutu Ify.

***

"Sekarang secara resmi kita sudah jadi anggota Heroes?" kata Ify di dalam mobil Pak Duta, Mereka akan diantar kembali ke rumah masing-masing kecuali Rio karena sepeda motornya masih tertinggal di sekolah.

"Rio sudah pasti jadi Matt Parkman," kata Iel.

Rio tidak mengatakan apa-apa.

"Menurut kalian, apakan dia melebih-lebihkan?" tanya Ify. "Tentang kemungkinan bahwa kita diincar."

"Kurasa iya," Iel mengangguk. "Mungkin ini semacam permainan anak orang kaya dan kita jadi bonekanya."

"Tidak," kata Rio tiba-tiba. "Dia tidak sedang berbohong."

Ify dan Iel menatapnya.

"Seseorang memang telah mati," lanjut Rio. "Data absorber memang ada dan dia memang baru saja meninggal di depan mata Pak Duta. Bahkan yang menyedihkan, orang itu adalah kakak Pak Duta sendiri."

"Ba...bagaimana kau tahu?" Ify menelan ludah.

"Apa kau lupa?" Rio balas menatap Ify dan Iel. "Aku ini mind reader, aku menyalaminya saat berpamitan tadi. Aku membacanya."

Mereka bertiga langsung terdiam.

"Tapi tadi aku juga menyentuhnya," Ify melihat telapak tangan kanannya. "Dan yang kurasa bukan kesedihan."

Dia lalu menatap Rio dan Iel. "Tapi kemarahan."

-----

Ini dia, ini udah panjang banget ya.
Part 4 gatau kapan.
Cheers -Davina