Selasa, 10 Juli 2012

Touché (Part 4) by: Windhy Puspitadewi

Sekali lagi ini cuma COPAS. Part 4 ---

"Jangan terlalu memikirkannya, Yo," Iel memukul bahu Rio.

"Terima kasih," kata Rio datar. "Nasihat yang bagus."

"Hey, if it works for me, it works for you too!" ujar Iel.

"Tentu saja, karena kau memang tidak pernah berpikir."

"Hoi, apa tidak ingat kalau aku adalah komputer dengan hard disk lebih dari 100 gigabyte?" Iel membela diri merujuk pada kemampuannya menyerap teks.

"Komputer dengan hard disk lebih dari 100 gigabyte," kata Rio datar. "Tanpa operating system."

"Ah, kau hanya iri," Iel meringis.

"Anggap saja begitu kalau itu membuatmu senang," jawab Rio.

Iel tertawa.

Alvin yang duduk di belakang mereka mengeluh keras hingga menarik perhatian mereka berdua. Jika Alvin sampai mengeluh seperti itu, pasti hanya ada satu sebab.

"Cewekmu pasti marah-marah lagi?" tanya Iel pada Alvin.

Alvin mengerang. "Untuk kesekian kalinya dan aku tak tahu apa sebabnya."

"Hormonal mungkin."

"Hanya itu satu-satunya hal yang terpikirkan," desah Alvin.

"Memangnya kau bisa memikirkan apa lagi?" Iel menyeringai.

"Wanita memang membingungkan," Alvin mengeluh lagi lalu merebahkan kepalanya di atas meja. "Kadang-kadang aku sampai berharap punya kekuatan membaca pikiran seperti Mel Gibson di What Women Want."

Rio dan Iel berpandangan.

"Hati-hati dengan apa yang kau inginkan," kata Iel sambil menepuk bahu Alvin lalu beranjak dari kursi. "Ayo, Yo!"

Rio menyambar tasnya dan segera berdiri.

"Kalian mau kemana?" tanya Alvin bingung.

"Ada senior yang menantang Rio judo," jawab Iel.

"Hah! Dan hanya demu alasan itu kalian tega meninggalkan teman kalian yang sedang les miserables ini?" pekik Alvin dramatis.

"Man's gotta do what a man's gotta do."

"Hah! Aku berteman dengan orang yag salah," Alvin menghela napas. "Dan Rio, wajah 'tak ada hubungannya denganku' itu mengjengkelkan!"

Rio mengangkat bahu.

Iel tertawa. "Manusia tidak bisa memilih taksirnya sendiri."

Alvin berdecak. "Aku menyerah, kalau begitu sebagai ganti penghibur kalian yang tidak akan pernah datang, aku ingin bertanya satu hal padamu, Yo."

"Apa?" jawab Rio datar.

Alvin menatap lurus matanya. "Kenapa selain saat judo, kau selalu menutupi tanganmu dengan sarung tangan?"

Rio terdiam sesaat.

"Karena kakiku tidak bisa ditutupi dengan sarung tangan," jawabnya asal lalu pergi keluar kelas diikuti Iel yang tampak sekuat tenaga menahan tawa.

***

Indra mencengkram judogi lawannya tepat di dada dan sikunya.

"Aku akan mempermalukan anak sombong ini. Lihat saja nanti, kau akan kupermalukan dengan Harai Tsurikomi Ashi!"

Orang ini terlalu banyak berpikir, batin Rio.

"Kaki kiri! Kesempatan!"

Tepat saat lawannya hendak menyerang kaki kiri Rio, dia berhasil menghindar bahkan dengan sigap menendang kaki lawannya itu hingga kehilangan keseimbangan. Tak butuh banyak tenaga, Rio menarik lengannya dan membantingnya lalu...

"IPPON!"

"Siaaaaaaaallll!"

Rio cepat-cepat melepaskan tangannya.

"Aku kalah," kata lawannya sambil berusaha berdiri. "Kau memang lebih hebat dariku."

"Tidak," jawab Rio. "Kekuatan kita sama."

Senior itu tersenyum sinis. "Kau tidak perlu menghiburku, aku tidak membutuhkannya."

Dia lalu berjalan menuju teman-temannya.

Tidak, kita benar-benar setara, kata Rio dalam hati. Hanya saja aku punya sedikit keistimewaan yang tidak kau miliki.
Rio sudah memiliki kemampuan membaca pikiran ini sejak kecil, mungkin sejak dia baru dilahirkan. Membaca sebenarnya bukan kata yang tepat karena Rio mendengarkan pikiran seolah-olah melalui telinganya. Bahkan jika orang itu tidak sedang berpikir melainkan membayangkan sesuatu, dia juga bisa melihatnya seakan ada proyektor di kepalanya. Jadi ketika orang yang dia baca pikirannya sedang berpikir sekaligus membayangkan sesuatu, yang terjadi adalah seperti dalam permainan virtual reality. Dan tentu saja, dia harus lebih dulu menyentuh orang itu, karena pikiran tidak disalurkan melalui udara. Ibaratnya jika ingin mendengar suara seseorang yang jauh dari kita, kita masih harus mengangkat telpon terlebih dahulu.

"Yo!" Iel menyambutnya begitu Rio keluar dari ruang ganti. "Kau memang benar-benar kuat."

Mereka berjalan menuju tempat parkir.

"Tidak juga." kata Rio tanpa bermaksud merendah sedikit pun. "Judo itu hampir sama dengan poker, masing-masing pemain memiliki kartu dan kemenangan terletak pada siapa yang paling cepat membaca kartu lawan."

"Berarti kau curang," cibir Iel.

"Et tu-kau juga," Rio menyipitkan mata padanya. "Kalau aku curang, berarti et tu."

Iel tertawa. "Honestum non est semper quod licet-apa yang diperbolehkan tidak selalu terhormat."

"Oh iya, tadi itu dia bermaksud menggunakan Harai Tsurikomi Ashi ya?" tanya Iel kemudian. "Lalu kau membalikkan dengan Deashi Harai?"

"Setelah Proverbia Latina, sekarang apa?"

"Aku membaca Judo for Dummies."

"Membaca?"

Iel menyeringai. "Oke, oke, menyerap"

"Hei, itu si Ify, kan?" tanya Iel saat mereka sudah tiba di tempat parkir, menunjuk ke anak perempuan berpostur tinggi dan berambut panjang yang sedang berjalan menuju lapangan.

"Yeah."

"Apakah kita perlu memanggilnya?" tanya Iel. "Mengingat secara resmi sekarang kita sudah berteman, ménage a trois."

"Apa kau tahu arti kata terakhir yang kuucapkan?" Rio menghela napas.

"Tentu saja," jawab Iel sambil meringis.

Rio melepas sarung tangan kanannya lalu menyentuh bahu Iel.

"Artinya kurasa cukup keren."

Rio menarik tangannya lagi. "Sedikit saran, mungkin sebaiknya kau menyerap kamusnya dulu sebelum mengatakan apapun dalam bahasa asing."

"Apa kau tahu yang namanya privacy?" protes Iel.

"Tahu dan aku tidak melihat papan bertuliskan itu di kepalamu," jawab Rio.

Iel menghela napas lalu menyerahkan helm padanya. "Aku benar-benar ingin tahu apa yang membuatku bisa berteman denganmu selama ini."

"Kau mau aku membantumu?" tanya Rio. "Mumpung aku belum memakai sarung tanganku lagi."

Iel hanya bisa mendengus.

"Omong-omong tentang permintaanku kemarin, apa kau sudah melakukannya?" tanya Iel begitu mereka sampai didepan rumah Rio.

"Ya," jawab Rio. "Sivia ingin boneka beruang dengan pita hijau, Zahra ingin candle light dinner di SPI, dan Pricilla ingin tahu apa kau mau berenang bersamanya."

"Sip! Sip! Sip!" Iel mencatat di PDA-nya. "Para wanita itu memang tidak pernah mau jujur tentang apa yang mereka pikirkan."

"Aku heran, kau itu punya modal kuat untuk jadi playboy bahkan yang sekelas Casanova," Iel menatap Rio sambil masih sibuk mengetik. "Tapi kenapa tak kau lakukan?"

"Sudah kauwakili," jawab Rio datar.

***

Pelajaran paling tidak dikuasai Rio adalah pelajaran yang membutuhkan hadalan. Dia suka sains dan apa pun yang memerlukan hitungan, dia bahkan termasuk di atas rata-rata untuk hal itu. Dia juga suka membaca bku dari novel hingga ensiklopedia, semua bacaan tanpa paksaan. Tapi jika yang dibaca adalah buku pelajaran terutama dengan kewajiban menghafal, dia menyerah.

Hari itu ulangan sejarah dan Rio merasa sudah mulai mual. Semua yang dihafalnya semalam serasa menguap tak berbekas. Susah payah dia berhasil mengingat kapan pembentukan PRRI dan PERMESTA. Sayangnya itu belum cukup karena Pak Dave, guru sejarah, masih menuntut disebutkannya nama Dewan-dewan berikut pemimpinnya.

Rio menyandarkan tubuh dan menghela napas panjang. Iel yang duduk di depannya tampak sudah hampir selesai. Kehabisan akal, Rio mencondongkan tubuhnya lagi, melepas sarung tangan kanannya lalu menyentuh punggung Iel.

"Yel, pinjam penggaris."

Iel semula terkejut tapi dia kemudian sadar apa yang sedang Rio lakukan hingga dia pun berlama-lama mencari penggarisnya untuk memberi Rio waktu membaca pikirannya.

Semoga tidak makan waktu lama, batin Rio mengingat Iel menyerap semua isi buku sejarah sehingga dia harus memilah mana yang dicari. Ah! Ini dia!

"Sjahrir mengemukakan pendapatnya ini dalam menanggapi pembentukan PRRI pada 15 Februari 1958, dan PERMESTA pada 17 Februari 1958. Sejak Desember 1958 benih-benih kedua kejadian itu sudah ditanam dengan terbentuknya Dewan Banteng di Sumatra Barat, Dewan Gajah di Sumatra Utara, Dewan Garudah di Sumatra Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. Dewan-dewan ini berturut-turut dipimpin oleh Achmad Husein, Maludin Simbolon, Barlian, dan Sumual.
"

Rio menarik tangannya lagi.

Iel menoleh kebelakang sambil menyerahkan penggarisnya. "Nih."

Thanks," Rio tersenyum.

Seperti itulah hubungan antara Rio dan Iel, mutualisme. Rio membantu Iel dalam mata pelajaran yang tidak membutuhkan hafalan yang sudah pasti merupakan kelemahannya, sebaliknya Iel membantunya dalam pelajaran yang membutuhkan hafalan. Jika Rio melihat Iel sudah tampak kebingungan atau panik-yang biasanya ditunjukkan dengan seringnya dia menggaruk-garuk kepala-dia akan berpura-pura menjatuhkan lebar jawabnya tak jauh dari meja Iel. Iel akan berbaik hati mengambilnya untuk Rio dan pada saat yang sama menyerap semua yang ditulis di kertas itu. Nasib buruk hanya terjadi jika tempat duduk mereka ditentukan dan diletakkan berjauhan. Saat itu mereka hanya bisa memasrahkan hasil ujian pada Tuhan.


Hehe, nggak begitu panjang ya? Ntar part 5 panjang kok.
Cheers -Davina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar