Rabu, 11 Juli 2012

Touché (Part 5) by: Windhy Puspitadewi

Sekali lagi ini cuma COPAS ya, ini buatan kak Windhy. Cekidot ---

Ify memegangi lututnya dan terengah-engah.

"Tiga belas koma satu detik," Pak Joni memberitahu. "Coba lebih baik lagi, Fy. Bapak tau kamu bisa."

Ify mengangguk.

Sebentar lagi kejuaraan atletik antar SMA dan cukup banyak orang yang berharap padanya di kejuaraan lari 100 meter. Ify merasa harus bisa menang, walau dia melakukan ini bukan demi mereka. Dia melakukannya demi dirinya sendiri sebagai pembuktian bahwa dia bisa lebih cepat dari yang dibayangkannya.

Melewati aula, Ify berhenti lagi untuk melihat. Kali ini matanya langsung tertuju pada Rio.

"Kau selalu melihat mereka latihan ya?" tanya Iel pada Ify yang memergokinya masih dalam pakaian lari berdiri di depan aula.

"Begitulah," jawab Ify. "Sepertinya kau juga."

Iel memerhatikan baju Ify. "Kau ikut atletik, ya?"

Ify mengangguk. "Kau sendiri?"

"Ronin," jawab Iel dengan bangga. "Tidak ikut klub mana pun."

"Lalu kenapa kau di sini?"

Iel mengedikkan kepalanya ke dalam aula.

"Aku mendukung temanku," katanya. "Yang sekarang sedang melemparkan lawannya ke lantai."

Rio tampak terengah-engah sambil menatap dingin lawannya yang terkapar, nyaris tanpa ekspresi.

"Rio?" tanya Ify.

"Siapa lagi?"

"Sebenarnya, setelah melihat temanmu melemparkan lawannya suatu hari itu, sepertinya ada yang menarikku untuk melihatnya lagi," aku Ify.

"Terima kasih, aku tersanjung," kata Iel senang.

Ify menatapnya. "Aku memujinya, bukan memujimu."

"Aku mewakilinya, jadi terimalah."

Ify menghela napas. "Setelah ini menurutmu apa yang akan terjadi?"

"Setelah apa?"

"Setelah penjelasan Pak Yunus, touché, dan sebagainya."

Iel mengangkat bahu. "Aku tak tahu, tapi sepertinya akan ada kejadian besar."

"Atas dasar?"

"Entahlah, ini insting saja."

"Jawaban tidak ilmiah, bukti tidak cukup, kasus ditolak."

"Kau tahu? Seperti katak yang bisa tahu kalau sebentar lagi turun hujan." Iel masih berusaha meyakinkan pendapatnya.

"Dan kau katak?" tanya Ify.

"Itu tadi majas," jelas Iel. "Perumpamaan."

"Majas dan perumpamaan adalah dua hal yang berbeda," kata Ify.

"Kata siapa?"

"Kau belum menyerap Kamus Besar Bahasa Indonesia?"

"Apakah ini topik yang semula kita bicarakan?" Iel mengerutkan kening.

"Tidak."

"Sampai dimana kita tadi?"

"Katak," jawab Ify.

Iel tertawa. "Sepertinya aku jadi suka padamu."

"Terima kasih, tapi aku tidak."

"Belum," ralat Iel.

Ify hanya tersenyum lalu mengalihkan tatapannya lagi pada Rio.

***

"Aku tidak tahu kau kenal Iel," kata Shilla. "Aku tadi melihatmu ngobrol dengannya di depan aula."

"Aku juga tidak menyangka kenal aku mengenalnya," kata Ify. "Memangnya dia siapa?"

"Hah! Kau tidak tahu?" tanya Shilla tak percaya.

"Dia itu Iel, hanya itu yang kutahu," jawab Ify. "Kenapa?"

Shilla menghela napas. "Dia itu peringkat pertama di sekolah kita, bahkan di kotamadya ini. Dia itu genius, pengetahuannya luas seakan dia telah membaca semua buku di dunia ini."

"Kau terlalu melebih-lebihkan," kata Ify datar.

"Serius!" Shilla meyakinkan. "Bahkan sepertinya dia bisa menyerap isi buku hanya dengan menyentuhnya."

"Walau tentu saja itu tidak mungkin," tambahnya.

Ify mengangkat alis. "Yah... itu lebih menjelaskan semuanya."

"Satu plus lagi, Iel bersahabat dekat dengan Rio!" kata Shilla agak histeris.

"So?"

"Kau tahu sendiri, kan, Rio itu kebanggan sekolah kita, dia juara judo tingkat propinsi, bahkan mungkin nasional," lanjut Shilla. "Ditambah lagi wajah 'bukan urusanku' itu membuatnya tampak cool."

"Oke," Ify mengangguk walau agak heran dengan perumpamaan Shilla. "Lalu?"

"Dan dia sulit didekati, misterius, tak ada seorang pun yang bisa mendekatinya," kata Ify.

"Kenapa?" tanya Ify.

Shilla mengangkat bahu. "Entahlah, dia bahkan selalu menggunakan sarung tangan. Kesannya tidak mau bersentuhan langsung dengan orang lain."

"Oh..." Ify termenung.

"Sama sepertimu, sebenarnya," Shilla menatapnya. "Sama sepertimu yang selalu memasukkan tangan ke dalam jaket atau kantong rok saat istirahat."

"Kalau aku kan tidak tahan dingin," Ify memberi alasan.

Shilla memutar bola matanya. "Ini di Surabaya, memangnya akan sedingin apa?"

Bel masuk berbunyi. Ify menarik tangannya dari kantong roknya.

***

"YO!!!!!!" Iel berseru begitu Ify membuka pintu rumahnya. Rio  berdiri di belakang Iel tapi pandangannya lurus ke jalan.

"Bagaimana kalian bisa tahu alamat rumahku?" tanya Ify heran.

"Malu bertanya sesat di jalan," jawab Iel. "Kami ingin menjemputmu."

"Ke mana?" Ify mengernyitkan dahi.

"Pak Duta belum menghubungimu?"

Ify menggeleng.

"Dia meminta kami berkumpul di Kafe Pelangi malam ini," jelas Iel. "Karena kafe itu tidak jauh dari rumahmu, kamu berpikir untuk menjemputmu lebih dulu dan berangkat ke sana bersama-sama."

"Aku ambil jaket dulu," kata Ify lalu masuk ke rumah.

"Siapa?" tanya Mama.

"Ah... itu... teman," jawab Ify. Dia belm memberitahukan kepada mamanya tentang apa yang telah terjadi. Dia memang telah berjanji tidak menyembunyikan apa pun dari mamanya, tapi karena rahasia ini juga menyangkut orang lain, Ify memutuskan untuk tutup mulut walau dalam hati dia merasa bersalah kepada mamanya.

"Teman?" Mama menatap mata Ify.

"Iya, mereka mengajakku pergi ke acara di sekolah," Ify tak berani membalas tatapan mata mamanya.

Mama Ify terdiam selama beberapa saat lalu mengangguk sambil tersenyum.

"Oke," Mama duduk di sofa dan menyalakan TV. "Jangan pulang terlalu larut."

Ify menarik napas lega. "Siap!"

Setelah mengambil jaket di kamarnya, Ify bergegas menuju pintu depan.

"Aku pergi dulu, Ma," pamitnya.

"Fy," kata Mama. Ify menghentikan langkahnya.

"Apa pun yang kaulakukan," Mama tidak menoleh sedikit pun, "berhati-hatilah."

Ify tertegun tapi kemudian mengangguk. "Ya."

"Kau tidak apa-apa?" tanya Iel sambil berjalan.

"Hah?"

"Wajahmu," Iel menelengkan kepalanya. "Seperti sedang memikirkan sesuatu."

"Itu..." kata Ify, bimbang sesaat. "Aku masih belum menceritakan yang sebenarnya pada Mama tentang apa yang sedang terjadi. Tentang kalian, Pak Duta, dan terutama tentang touché padahal aku sudah berjanji semenjak Papa meninggal tidak akan pernah menyembunyikan apa pun dari Mama. Tapi aku takut jika menceritakannya, bisa membahayakan kalian semua."

"Begitu?"

Mereka lalu terdiam.

"Memangnya kau umur berapa?" Rio yang pertama membuka suara. Matanya yang hitam pekat menatap Ify.

"Hah?"

"Jika kau masih mengeluh seperti itu katakan semuanya saja pada mamamu, jangan jadikan kami sebagai alasan," kata Rio tajam. "Bingung dengan keputusan yang sudah diambil sendiri, kau pikir berapa umurmu?"

Ify langsung merasa tertampar dengan kata-kata Rio. Dia mengernyitkan dahi dan memasang wajah cemberut tapi tak mampu berkata apa-apa untuk membalasnya. Di dalam hatinya, Ify mengakui bahwa kata-kata Rio benar.

"Rio, kata-katamu agak keterlaluan," kata Iel setelah melihat raut wajah Ify.

"Jika kata-kataku salah, dia bisa membalasnya," jawab Rio dingin.

Iel melirik Ify, tapi gadis itu hanya diam. Karena tidak melihat jalan, Iel bertubrukan dengan seseorang hingga dia dan orang yang ditubruknya terjatuh.

"Hoi! Kau taruh di mana matamu?"

Orang yang ditubruk Iel sepertinya preman yang agak mabuk dan dia tidak sendirian. Ada sekitar tiga orang yang tampak di belakangnya.

"Maaf, Bang, saya nggak sengaja," kata Iel sambil berdiri. Dia mengulurkan tangan pada preman itu tapi tangannya ditepis dengan kasar.

"Enak aja cuman minta maaf!" bentak preman itu. "Kalau tulang rusukku patah, kau mau tanggung jawab? Pokoknya aku minta ganti rugi!"

"Bagaimana kalau saya antar Abang ke dokter, kalau memang tulang rusuk Abang patah, saya ganti semua biaya pengobatannya," kata Iel ringan.

"Kau!!!" Preman itu melotot karena merasa Iel menantangnya.

Iel membalas tatapannya dengan santai karena mengira preman-preman itu hanya berani di mulut saja, tapi dia salah. Preman yang tadi ditubruknya maju dan menarik kerah Iel lalu menendang perutnya hingga dia jatuh tersungkur.

"Iel!" pekik Ify yang langsung membantu Iel duduk. Iel terbatuk sambil meringis kesakitan.

"Itu akibatnya kalau mau jadi orang sok tahu!" kata preman itu diikuti iringan tawa teman-temannya.

Rio yang dari tadi diam saja, maju dan melepas kedua sarung tangannya.

"Apa?" kali ini preman itu melotot padanya. "Kau mau membalaskan dendam temanmu, kerempeng?"

Preman itu sudah melakukan ancang-ancang untuk memukulnya tapi Rio sempat mengelak dan memegang tangannya. Si preman mengira Rio terkecoh karena serangan sebenarnya adalah tendanganya yang diarahkan ke rusuk. Begitu preman itu menendang, Rio menjegal kaki tumpuannya hingga preman itu kehilangan keseimbangan lalu dengan mudah membantingnya. Rio sudah membaca apa yang dipikirkannya. Ketiga tema  n preman itu juga mengalami nasib serupa saat ingin menolong temannya. Mereka tak berdaya menghadapi Rio. Melihat semua lawannya terkapar, Rio masih belum berhenti. Dia menarik kerah preman yang tadi menendang Iel, lalu memukulnya berkali-kali. Bahkan sampai akhirnya preman itu memohon ampun, Rio tidak menghentikan pukulannya.

Ify yang melihat kejadian itu membeku. Dia bisa melihat mata Rio yang berkilat seperti orang kesurupan. Tangannya mulai gemetar.

"Rio! Sudah cukup! Hentikan!" teriak Iel. "Kau bisa membunuhnya!"

Rio tidak menggubrisnya. Dia sudah hendak melayangkan pukulan lagi ketika Iel kembali berteriak.

"Aku tidak apa-apa! Sudah! Hentikan! Aku tidak apa-apa!"

Barulah Rio berhenti. Tangannya yang sudah siap memukul lagi dia turunkan.

Rio berjalan mendekati Iel tanpa mengatakan apa-apa. Tanpa sadar Ify mundur selangkah ketika Rio datang. Sadar telah membuat gadis itu ketakutan, Rio meminta maaf.

"Maaf."

Kilatan di mata Rio sudah menghilang, diganti tatapan gelap dan suram lebih dari biasanya.

Iel menghela napas lalu menepuk-nepuk pundak teman baiknya itu. "Kau kehilangan kendali lagi."

Rio hanya diam.

Nih part 5nya. Rionya serem ya. Ntar part 6 panjang banget kok. Cheers -Davina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar