Senin, 02 Juli 2012

Touché (Part 3) by: Windhy Puspitadewi

Sekali lagi ini bukan buatan saya ya! Ini murni COPAS.
----

"Saya ingin memulai pembicaraan ini dengan satu pertanyaan bodoh," kata Ify, masih terkagum-kagum dengan rumah Pak Duta. "Tapi saya sangat ingin tahu enak nggak sih jadi orang kaya? Maksud saya, kita sering mendengar atau membaca pewaris perusahaan besar mendapat tekanan sejak kecil, nggak happy, hidupnya diatur dan seterusnya sehingga ingin hidup normal sebagai orang biasa. Is it true atau mereka hanya berusaha menjadi drama queen?"

Pak Duta tertawa.

"Kau terlalu banyak nonton sinetron," katanya, masih tergelak. "Are you kidding me? Being rich is a wonderful thing! Aku bisa mendapatkan semua yang kumau, pergi ke semua tempat yang bisa kukunjungi, dan banyak orang rela membunuh untuk bisa berada di posisiku. Dengan apa yang kumiliki itu, mana mungkin aku mau menukarnya hanya agar bisa hidup sebagai orang biasa? You must be joking!"

"Nice,
" kata Iel kagum. "Sepertinya Rio bahkan tidak perlu menyentuh Bapak untuk mengetahui apakah Bapak berbicara jujur atau tidak."

"Karena kau menyinggungnya, mungkin sebaiknya kita mulai saja," kata Pak Duta setelah meminta semua pelayan pergi dari ruangan itu.

"Selama ini kalian pasti punya segudang pertanyaan menyangkut kemampuan yang kalian miliki itu, right?" Pak Duta memulai. Mereka bertiga mengangguk.

"And still no answer," kata Iel.

"Not even from the internet," timpal Ify.

"Hingga Bapak menceritakan pada kami," kata Iel lagi lalu melirik Ify. "Tapi belum pada Ify."

"Kemampuan kita ini diturunkan," lanjut Pak Duta. "Walau tidak pada tiap generasi."

"Kita?" ulang Ify. "Memangnya apa kemampuan Bapak?"

Pak Duta mendekati piano tua yang ada di ruangan itu lalu duduk di depannya. Dia menyentuh tutsnya selama beberapa saat dan mulai memainkan The Nutcracker dari Tchaikovsky.

"Sejujurnya," katanya sambil terus memainkan piano, "aku juga tidak bisa membaca not balok. Aku bahkan buta nada. Aku juga tidak pernah mengikuti les piano sebelumnya. Aku sudah memberitahukan hal ini pada Rio dan Iel."

"Jadi Bapak bisa memainkan lagu hanya dengan menyentuh alat musiknya?" Ify ternganga.

Pak Duta mengehentikan permainannya. Dia menatap Ify dengan tersenyum.

"Kemampuan kita tidak berjalan seperti itu," jelasnya. "Jadi walaupun kau membaca pikiran dan perasaan seseorang, pada kenyataannya yang kaulakukan adalah menyerap. Your touch absorbs other's mind or feeling, seperti halnya Iel menyerap tulisan. Hanya saja memang ada beberapa orang dengan pengecualian."

"Tunggu, apa kita masih berbicara dalam bahasa yang sama? Karena saya tidak mengerti apa yang Bapak katakan," kata Ify sambil mengernyitkan dahi.

"My abilty sama seperti kalian bertiga," Pak Duta bangkit lalu berjalan kembali ke kursinya semula. "My touch menyerap ingatan alat-alat musik itu akan permainan yang sebelumnya pernah dimainkan. Aku bisa memainkan The Nutcraker-nya Tchaikovsky karena sebelumnya sudah ada orang yang memainkannya menggunakan piano tua itu. Hal yang sama juga berlaku ketiak aku bermain biola di sekolah kalian."

"Jadi artinya, jika Bapak diminta untuk memainkan lagu dari alat musik yang benar-benar baru, Bapak tidak akan bisa melakukannya?" tanya Ify.

"Tepat," Pak Duta tersenyum. "Seperti itulah cara kerja kemampuan sentuhan milik kita, kaum t
ouché."

"TUSYE?"

"That's how we say it," Pak Duta membenarkan. "Tapi kita menuliskannya T-o-u-c-h-
é. It's a France word."

"Kalian sudah tahu tentang ini semua?" Ify mengalihkan pandangannya pada Rio dan Iel.

Iel mengangkat bahu. "Hanya sampai di situ."

"Bapak tidak sedang mengada-ada kan?" Ify kembali menatap Pak Duta dengan curiga.

"What for?" Pak Duta menghela napas. "Kemampuan kita ini sudah diturunkan secara acak dari generasi ke generasi. Aku sudah menyelidikinya dan memang kaum touch
é sudah ada sejak dulu. Kalian pasti tidak menyangka siapa saja yang termasuk kaum touché."

"Shoot!"

"Karl Friedrich May adalah
 touché," Pak Duta memulai.

"Penulis Winnetou dan Old Shatterhand itu?" Ify menatapnya tak percaya. "Bohong!"

"Kau pikir bagaimana dia bisa menceritakan dengan detail apa yang terjadi di Amerika padahal dia belum pernah sekali pun menginjakkan kaki di sana?" Pak Duta menatap mata mereka. "Dia menggunakan sentuhannya untuk membawa pikirannya ke daerah itu."

"Dengan cara apa?" tanya Rio, pertama kalinya membuka suara sejak tiba di rumah Pak Duta.

"Surat kabar," jawab Pak Duta. "Dia menyerap kejadian dan pemandangan yang ditampilkan oleh foto maupun cerita di surat kabar itu tentang Amerika. Kalau tidak salah, saat membuat Winnetou dia sedang di penjara tapi dia diperbolehkan membaca surat kabar sebagai satu-satunya benda yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar."

Mereka bertiga menahan napas.

"Beethoven is a 
touché," Pak Duta melanjutkan.

"Bohong," desis Iel.

"Dia tuli, remember?" Pak Duta menatapnya. "Bagaimana seseorang bisa membuat lagu dalam keadaan tuli? Dengan sentuhannya, dia menyerap partitur sehingga dia bisa menemukan nada yang benar dan tidak. Dia tidak perlu menggunakan telinganya untuk itu, dia menggunakan tangannya."

"Lalu siapa lagi?" tanya Rio.

"Kau mulai bersemangat, ya?" Pak Duta tersenyum. "Berikutnya Flavio Blondo, dia adalah arkeolog abad pertengahan. Dia meneliti semua peninggalan Romawi abad pertengahhan dan dengan kemampuan sentuhannya, dia bisa merekontruksi kejadian pada masa itu."

"Apa yang dia lakukan?" tanya Ify.

"Dia menyerap ingatan bangunan," jawab Pak Duta. "Hampir sama dengan kemampuanku, hanya saja dia tidak melakukannya pada alat musik. Banyak orang yang punya kemampuan seperti ini dan aku berani bertaruh bahwa kebih dari setengah arkeolog terkenal adalah
touché."

"Masih ada lagi?" tanya Iel.

"Aku bisa memberimu jutaan nama," jawab Pak Duta. "Unfortunately, waktu kita tidak sebanyak itu jadi aku hanya bisa memberitahumu satu orang lagi. Dia adalah De. Joseph Bell."

"Siapa tuh?" tanya Iel.

"Inspirasi Conan Doyle untuk membuat Sherlock Holmes," Rio menjelaskan. "Dr. Joseph Bell adalah Sherlock Holmes di dunia nyata."

"Nice, obvioulsy you know a lot," puji Pak Duta. "Benar karakter Sherlock Holmes dan kemampuan analisisnya didasarkan pada Dr. Bell. Dr. Bell bisa melalukan deduksi hanya dari benda, bahkan menerka dari mana seseorang berasal hanya dari pasir di sepatunya dikarenakan dia adalah
touché. Dia menyerap ingatan benda-benda itu."

Pak Duta menyesap minumannya lalu memandang mereka. Mereka bertiga hanya diam, terlalu shock hingga tak sanggup berkata apa-apa. Semua informasi itu terlalu tiba-tiba dan terlalu banyak untuk dapat mereka terima.

"Kereeen..." gumam Iel. Matanya terlihat berbinar-binar.

"Lalu, dari mana sebenarnya kemampuan kami?" tanya Rio, wajahnya tetap dingin. Kalaupun shock, dia bisa menutupinya dengan baik.

"Sayangnya aku belum berhasil menemukannya," Pak Duta menghela napas. "Penelitianku juga masih belum menyentuh abad sebelum masehi. But i  found something."

"Kekuatan kita diturunkan secara acak dan tidak selalu pada tiap generasi," lanjutnya. "I mean, kalau kita memiliki kekuatan ini belum tentu ayah-ibu kita juga memiliki kekuatan yang sama sehingga kemungkinan mereka tahu tentang hal ini nearly zero percent. Bisa jadi generasi terakhir sebelum kita adalah kakek buyut kita."

Mereka terdiam.

"Dan apakan kalian tahu ada beberapa orang yang memiliki kemampuan seperti kita di luar sana?" tanya Pak Duta sambil melepas kacamatanya lalu menatap mereka bertiga yang langsung menelan ludah. "Thousands."

"Tersebar di seluruh dunia," dia menaruh gelasnya lagi ke meja. "Dan selama ini kalian merasa sendirian?"

"Seperti halnya bakat menulis, kemampuan sejenis dengan kita tidak diturunkan pada satu orang," Pak Duta melanjutkan. "Kemampuan menyerap tulisan seperti yang dimiliki Iel, di luar sana juga ada beberapa orang yang memiliki kemampuan yang sama. Milikku pun begitu, dalam pencarian saat melakukan penelitian aku menemukan beberapa orang yang memiliki kemampuan sepertiku."

"Berarti... bukan hanya aku saja yang punya kemampuan seperti ini..." Iel menatap kedua tangannya dengan wajah terkejut.

"Dengan pengecualian..." Pak Duta menatap Ify dan Rio. "The Mind reader and the empath. Dalam tiap generasi hanya ada satu orang yang memiliki kemampuan seperti kalian."

"HEEEEEEEEEE?" Ify dan Iel menjerit hampir berbarengan tapi Rio diam saja. Namun kali ini sorot matanya menunjukan keterkejutan yang sama.

"Aku sendiri juga tak tahu kenapa," aku Pak Duta. "Tapi dari penelitianku, selalu hanya ada satu orang mind reader dan satu orang empath. Orang yang terakhir memilikinya lahir pada abad ke-18, setiap tiga abad sekali lahir orang dengan kemampuan seperti kalian."

"Ini juga sebabnya banyak yang mengincar kalian," tambahnya.

"Mengincar kami?" ulang Rio.

"Yes, and especially you," jawab Pak Duta. "KGB, CIA, SAS, Mossad, dan lain-lain akan lebih mudah menentukan mana orang yang berbahaya dan tidak dengan kekuatanmu. Dengan alasan yang sama juga, kemungkinan organisasi-organisasi dan orang-orang jahat di muka bumi mengincarmu untuk dibunuh,"

"Bapak bercanda, kan?" Ify memaksakan diri untuk tertawa.

"Kalian pikir untuk apa aku tiba-tiba datang ke Indonesia?" Pak Duta menghela napas. "To warn you! Agar kalian lebih waspada dan lebih berhati-hati dalam menggunakan kemampuan kalian."

"Tapi bagaimana mungkin mereka tahu tentang kami?" tanya Iel. "Pasti tidak akan ada yang menyangka pemilik kemampuan yang hanya ada 300 tahun sekali itu ada di Indonesia."

Pak Duta mencondongkan tubuhnya ke depan dan memasang wajah serius.

"Kalau aku saja bisa menemukan kalian,  why don't they?" katanya. Mereka bertiga langsung membeku.

"Dari mana Bapak tahu tentang istilah
 touché?" tanya Rio tiba-tiba. "Apakah Bapak mengarangnya sendiri?"

Pak Duta tersenyum. "Aku menemukannya di tengah-tengah penyelidikan tentang kemampuanku. Aku membacanya di naskah asli buku Histoire de Ma Vie yang kudapatkan dari lelang pasar gelap."

Napas Rio tertahan. "Casanova."

"You do know a lot," Pak Duta mengangguk. "Dalam buku Histoire de Ma Vie atau History of My Life yang terbit dan beredar sekarang,
touché tidak perah disinggung karena penerbitnya menyunting habis-habisan agak tidak terjadi kontroversi di dalam masyarakat. As we all know, hal ini bukan sesuatu yang bisa dibuktikan dengan mudah dan pihak penerbit takut Casanova akan mengalami nasib sama seperti Joan of Ark yang mati dibunuh karena dianggap memiliki kemampuan sihir."

"Jadi Casanova
touché?" tanya Ify tak percaya.

"Yes," jawab Pak Duta. "And for your information, he was a mind reader, sama seperti Rio."

Iel dan Ify langsung mengalihkan tatapannya pada Rio.

"Jadi mind reader terakhir yang lahir di abad 18 yang Bapak maksud tadi itu Casanova?" tanya Iel.

Pak Duta mengangguk. "Di Histoire de Ma Vie versi asli dijelaskan bahwa itulah sebabnya dia bisa menjadi womanaizer, penakluk wanita, karena dia bisa membaca pikiran mereka."

"Ternyata begitu..." Ify terpana.

"Kenapa Bapak melakukan ini?" tanya Rio tiba-tiba setelah keheningan yang cukup lama. "Maksud saya, kenapa Bapak menolong kamu sampai sejauh ini?"

Pak Duta menatap Rio cukup lama sebelum menjawab.

"Aku hanya menolong kaumku," jawabnya. "Karena aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri seorang
touché mati dibunuh."

"EEEEEEEEEEEEEEEHHHHHHHH?" mereka serempak berteriak.

"Oleh siapa?" tanya Rio lagi.

"Musuh abadi kita," jawab Pak Duta.

"Paladine?" tanya Iel.

"Sort of."

"Tapi kita bukan Jumpers."

"Itu sebabnya kubilang 'sort of'."

"Kenapa dia dibunuh?" tanya Rio masih penasaran.

"He was data absorber," jelas Pak Duta. "Just like Iel hanya saja dia menyerap data digital, semacam hard disk eksternal berbentuk manusia. Ini fenomena baru karena sebelumnya belum pernah ada
touché yang memiliki kemampuan seperti itu. Apalagi di era digital seperti sekarang, kemampuan ini sangat berguna karena sekali sentuh dia dapat menyerap data yang paling rahasia sekalipun."

"Jadi karena itu dia diincar?" kali ini Iel yang penasaran.

"Yap!" Pak Duta mengangguk. "Bersyukurlah kau hidup di abad 21, jika kau hidup di abad sembilan belad aku yakin
touché dengan kemampuan sepertimulah yang diincar."

"Benar, aku harus berterima kasih pada ayah dan ibuku," Iel meneguk minumannya dengan lega. Ify tersenyum melihatnya.

"Setelah ini apa?" tanya Rio tiba-tiba. Mereka semua memandangnya.

"I beg your pardon?" Pak Duta mengernyit.

"Bapak bukan hanya datang untuk menjelaskan tentang siapa kami dan memperingatkan kamu untuk waspada, kan?" Rio menatap tajam Pak Duta.

Pak Duta terdiam sejenak lalu tersenyum.

"Kurasa terlalu sering membaca pikiran orang membuatmu belajar untuk melihat isi kepala mereka tanpa menyentuhnya ya," kata Pak Duta sambil tersenyum. "Ini pujian, terimalah."

Tak ada seorang pun dari mereka yang bicara.

"Kau benar, ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan pada kalian," dia menghela napas. "But I'll save it for the right time. Setelah ini, berlakulah dan jalanilah hidup seperti biasa walaupun..."

"Walaupun?" ulang Ify.

"Sepertinya tidak lama lagi kalian akan sadar hidup kalian tidak akan pernah sama lagi," Pak Duta masih tersenyum tapi matanya menatap tajam. "Banyak orang mungkin akan memilih untuk tidak tahu akan kebenaran agar mereka bisa hidup normal."

"Sepertinya tadi kami tidak diberi pilihan," kata Ify sinis. Benar! Setelah mengetahui semua ini, bagaimana mungkin aku merasa hidupku normal!

"My mistake," Pak Duta meminta maaf. "Seharusnya aku tidak mengatakan kebenaran itu, atau mungkin seharusnya sejak pertama aku tidak perlu datang ke Indonesia."

"Dan Bapak baru memikirkannya sekarang," kata Rio tajam.

Pak Duta mengangkat bahu. "Hey, you can't please everybody. Lagi pula ini juga untuk kebaikan kalian sendiri agar lebih waspada."

"Oh ya, ada satu lagi yang harus aku katakan," dia mengalihkan tatapannya pada Ify.

"Biasanya kemampuan
touché hanya diturunkan pada laki-laki."

"EEEEEEEEEEEEEEEHHHHHHHH?" sprontan Ify berteriak.


"Lalu kenapa Ify..." tanya Rio.

"Dengan pengecualian empath," Pak Duta tersenyum. "Aku juga ingin tahu, dari yg kuteliti sejak dulu empath selalu diturunkan pada wanita. Hingga sekarang aku belum mendapatkan jawabnnya."

"Jangan-jangan sebenarnya semua empath adalah perempuan jadi-jadian," Iel menatap Ify dengan wajah serius.

"Kau ingin mati muda ya?" gerutu Ify.

***

"Sekarang secara resmi kita sudah jadi anggota Heroes?" kata Ify di dalam mobil Pak Duta, Mereka akan diantar kembali ke rumah masing-masing kecuali Rio karena sepeda motornya masih tertinggal di sekolah.

"Rio sudah pasti jadi Matt Parkman," kata Iel.

Rio tidak mengatakan apa-apa.

"Menurut kalian, apakan dia melebih-lebihkan?" tanya Ify. "Tentang kemungkinan bahwa kita diincar."

"Kurasa iya," Iel mengangguk. "Mungkin ini semacam permainan anak orang kaya dan kita jadi bonekanya."

"Tidak," kata Rio tiba-tiba. "Dia tidak sedang berbohong."

Ify dan Iel menatapnya.

"Seseorang memang telah mati," lanjut Rio. "Data absorber memang ada dan dia memang baru saja meninggal di depan mata Pak Duta. Bahkan yang menyedihkan, orang itu adalah kakak Pak Duta sendiri."

"Ba...bagaimana kau tahu?" Ify menelan ludah.

"Apa kau lupa?" Rio balas menatap Ify dan Iel. "Aku ini mind reader, aku menyalaminya saat berpamitan tadi. Aku membacanya."

Mereka bertiga langsung terdiam.

"Tapi tadi aku juga menyentuhnya," Ify melihat telapak tangan kanannya. "Dan yang kurasa bukan kesedihan."

Dia lalu menatap Rio dan Iel. "Tapi kemarahan."

-----

Ini dia, ini udah panjang banget ya.
Part 4 gatau kapan.
Cheers -Davina

Tidak ada komentar:

Posting Komentar