Senin, 16 Juli 2012

Touché (Part 6A) by: Windhy Puspitadewi

Hai, sorry ngaret. Cekidot --

"Kenapa wajah kalian seperti itu?" tanya Pak Duta heran, ketika mereka bertemu di Kafe Pelangi. Ketakutan di wajah Ify belum hilang sepenuhnya begitu juga hawa gelap Rio yang lebih pekat. Hanya Iel yang tidak menunjukkan perubahan.

"Ceritanya panjang," jawab Iel.

"Kalau begitu persingkat," kata Pak Duta sambil memanggil pelayan.

"Kami bertemu preman," jelas Iel.

"Lalu?"

"Bapak minta versi singkat, kan?" balas Iel. "Itu versi singkatnya."

Pak duta mendengus lalu tersenyum. "Smart."

"Untuk apa Bapak memanggil kami kesini?" tanya Iel setelah mereka selesai memesan makanan dan minuman.

"Pertama-tama aku harus bertanya dulu," Pak Duta memasang wajah serius dan memandang wajah mereka secara bergantian. "Apakah kalian tau akhir-akhir ini banyak penculikan terhadap kaum touché?"

"EEEEEEEEHHHH?" Iel dan Ify spontan berteriak tapi kemudian cepat-cepat membekap mulut masing-masing.

Pak Duta mengangguk. "Tapi mereka adalah touché yang berada di luar negeri, jadi tidak heran jika kalian tidak mengetahuinya."

"Semuanya berasal dari luar negeri?" tanya Rio, akhirnya membuka suara.

"Sepanjang pengetahuanku," jawab Pak Duta. "Iya."

"Menurut Bapak, apakah orang yang melakukan penculikan-penculikan itu adalah orang yang sama?" tanya Rio lagi.

Pak Duta mengangguk mantap. "Tentu saja."

"Dari mana Bapak tahu?"

"Setiap melakukan penculikan itu, mereka selalu meninggalkan sepucuk surat untuk keluarga korban."

"Minta tebusan?" tanya Iel.

Pak Duta menggeleng. "Salah satu sumber kepolisian di sana yang juga kenalanku mengatakan isi surat itu hanya dua barus dari puisi kuno. Dari situlah aku bisa menarik kesimpulan."

"Puisi?" ulang Ify.

"Aslinya berasal dari bahasa Latin," jelas Pak Duta. "You only have to look behind you, at who's underlined you."

Iel mengerutkan kening. "Lalu apa hubungannya dengan kaum touché? Bukankah itu berati yang menculik mereka adalah orang-orang terdekat mereka? Kata-katanya saja 'look behind you'."

"Lanjutan puisi itu," jawab Rio.

Iel dan Ify langsung menoleh ke arahnya.

Pak Duta menatap Rio kagum. "Pengetahuanmu memang di atas anak-anak seumurmu."

"Apa lanjutannya?" tanya Ify penasaran.

"Destroy everything you touch today, destroy me this way," kata Rio.

"Touch... Touché..." gumam Iel.

Mereka terdiam.

Tidak lama kemudian pesanan mereka datang. Setelah pesanan selesai diantar, mereka mulai berbicara lagi.

"Tapi penculikan itu belum sampai ke Indonesia, kan?" Ify menatap Pak Duta, khawatir.

"Belum..." jawab Pak Duta, "...hingga kemarin. Penculik itu sudah sampai ke kota ini."

Saking kagetnya, mereka sampai tak bisa mengatakan apa pun.

"Apa yang terjadi?" tanya Rio.

"Koki terkenal yang pernah menimba ilmu di Prancis dan sekarang menjadi koki di salah satu hotel berbintang empat di Surabaya diculik dari rumahnya," jelas Pak Duta. "Dia adalah touché yang memiliki kemampuan bisa mengetahui komposisi bahan pembuat makanan, baik jenis maupun ukuran hingga gram terkecil hanya dengan menyentuhnya."

"Hari Jumat pagi dia pamit dari rumahnya untuk pergi ke hotel tempatnya bekerja dan hingga hari ini belum kembali. Ketika dihubungi di tempat kerjanya, hari Jumat itu ternyata dia bahkan tidak datang bekerja."

"Apa kata polisi?" tanya Ify.

"Polisi menganggapnya kabur dari rumah," jawab Pak Duta sambil menuang air mineral ke gelas. "Mereka tidak paham dengan maksud puisi itu, lagi pula mereka juga tidak tahu telah terjadi penculikan dengan modus yang sama di luar negeri."

"Payah," cibir Iel.

"Bagaimana dia bisa tahu?" tanya Rio tiba-tiba.

"Apa maksudmu?" tanya Iel bingung.

"Bagaimana penculik itu bisa mengenali kaum touché?" jelas Rio, menatap tajam Pak Duta. "Apa seperti Bapak mengenali kami? Apa karena semua kaum touché tanpa sadar selalu menyembunyikan tangannya seperti aku dan Ify? Tapi bukankah yang melakukan ini hanya touché yang kemampuannya berhubungan dengan manusia?"

Ify dan Iel melongo karena apa yang dikatakan Rio tidak terpikirkan oleh mereka.

"Ternyata bukan hanya kemampuan touché-mu yang mengagumkan," Pak Duta tersenyum. "Otakmu pun sepertinya akan diperebutkan banyak pihak."

Rio hanya diam, tak menunjukkan ekpresi apa pun.

"Apakah kalian ingat ketika aku menjelaskan tentang touché, aku menyebut bahwa ada beberapa orang dengan pengecualian?" Pak Duta menjelaskan. "Salah satunya, aku menyebutnya sebagai track finder. Orang yang dari sentuhannya bisa mendeteksi keberadaan orang lain atau minimal kaum touché yang lain."

"Track finder?" Ify mengernyit. "Apa yang dia sentuh?"

Pak Duta mengangkat bahu. "Mungkin peta, globe, atau apa pun yang menunjukkan wilayah."

"Kekuatan seperti yang dimiliki Profesor X di X-Men dengan mesin Cerebro-nya?" tanya Iel.

"Yah mungkin semacan itu," Pak Duta meneguk minumannya. "Ini baru teoriku saja, tapi kupikir hanya inilah alasan yang masuk akal."

"Berarti ada kemungkinan sebentar lagi kamu yang diincar?" tanya Rio datar.

Ify dan Iel menelan ludah.

Pak Duta mengangguk. "Sebaiknya mulai sekarang kalian saling menjaga."

"Bukankah berkumpul seperti ini justru membuat kita lebih mudah tertangkap?"

"Aku bilang saling menjaga," Pak Duta mengambil garpu dan pisaunya. "Tidak mengharuskan kita untuk selalu berkumpul. Let's eat!"

Mereka bertiga makan dengan tidak tenang. Apa yang telah dikatakan Pak Duta sudah mulai memengaruhi mereka. Menyadari telah membuat ketiga muridnya tidak nyaman, setelah selesai makan Pak Duta memainkan lagu dengan piano di kafe itu.

"Indah sekali ya," celetuk pelayan restoran itu.

"Memangnya belum pernah ada yang memainkannya?" tanya Rio.

"Pelayan itu mencoba mengingat-ingat. "Seingat saya belum, tapi jangan percaya dengan ingatan saya. Soalnya piano sebelum ini sudah memainkan banyak sekali lagu yang saya nggak tahu hingga saya lupa."

"Piano sebelum ini?"

Pelayan itu mengangguk. "Sudah rusak, karena tua dan terlalu sering dimainkan. Piano ini baru datang tadi pagi, berarti bapak itu yang melakukan premier. Bagus ya suaranya."

Rio mengangguk.

"Apa judul lagu yang dimainkannya?"

"Hana's Eyes," jawab Rio setelah terdiam sesaat.

Setelah selesai, Pak Duta dijemput sopirnya dan dia pulang lebih dulu. Iel, Ify, dan Rio masih di kade itu selama beberapa saat sebelum memutuskan beranjak.

"Kalian pulanglah dulu," kata Rio. "Masih ada yang ingin kupastikan."

Iel mengangguk.

"Dia tidak berbahaya," kata Iel pada Ify dalam perjalanan pulang. "Rio tadi hanya kehilangan kendali dan itu hanya terjadi jika orang-orang yang penting baginya disakiti."

Ify menatapnya. "Tapi aku baru pertama kali ini melihat orang seperti itu."

Iel tersenyum. "Kalau kau lebih mengenalnya, kau akan tahu orang sebaik apa dia. Walau tampak dingin seperti itu, tapi sebenarnya dia adalah orang paling peduli pada sekelilingnya."

"Bagaimana aku bisa mengenalnya kalau dia saja tidak membiarkan orang lain mendekatinya?" tanya Ify, mengingat betapa dinginnya Rio.

Iel menghela napas. "Tidak bisa disalahkan. Kau sendiri, apa yang akan kaulakukan jika orang paling dekat denganmu, keluargamu, tidak mau mendekatimu."

"Jadi keluarganya seperti itu? Tidak mungkin! Ibuku saja tidak mempermasalahkan kemampuanku." Ify tertegun.

Iel tersenyum. "Tidak semua orang seberuntung dirimu yang memiliki ibu seperti itu dan idak semua orang sehebat ibumu, yang mau saja dibaca perasaannya."

"Itukah sebabnya tadi dia marah padaku?" gumam Ify.

"Dia tidak marah padamu," kata Iel. "Itu bukan bentuk kemarahan, buktinya kau masih utuh. Kau kan sudah lihat sendiri bagaimana dia marah."

Ify tersenyum

Hai ;;p. Gimana? Keren kan? Hari ini aku post 2/3 part loh *benerinkerah. Pokoknya jawabannya ntar itu ada dipart ini semua. Sorry ngaret ._.V

Tidak ada komentar:

Posting Komentar