Sabtu, 12 Mei 2012

Touché (Part 2) by: Windhy Puspitadewi

Ini part 2.
Part ini gue gatau panjang atau enggak :|
Enjoyy...

-----
"Ada apa denganmu?" tanya Pak Joni sambil menunjukkan stopwatch-nya. "Tiga belas koma tujuh detik, jauh lebih lambat daripada sebelumnya."

"Maaf," kata Ify.

Pak Joni menghela napas. "Kalau setiap kali mengatakan 'maaf' kecepatanmu bertambah, kamu sekarang pasti bisa melaju secepat pesawat cancorde."

"Maaf," kata Riska lagi tanpa sadar. "Eh... anu..."

"Sudah, sudah...," desah Pak Joni. "Latihan hari ini selesai, kita lanjutkan besok. Kita istirahat saja."

"Jangan dimasukkan kehati," Agni menepuk bahu Ify.

Ify mengangguk. "Thanks."

Ini pasti gara-gara Pak Duta,
gerutu Ify dalam hati. Ify merasa ada sesuatu yang aneh pada orang itu, seolah Pak Duta tahu sesuatu tentang kemampuannya.

Ify mengambil handuk lalu berjalan ke ruang ganti. Di antara lapangan dan ruang ganti terdapat aula yang biasanya digunakan untuk berlatih bela diri, terutama judo. Sekolah Ify terkenal karena telah memenangi banyak sekali pertandingan judo hingga tingkat nasional. Tidak heran jika klub judo menjadi anak emas di sekolahnya.

Di depan aula yang dipenuhi teriakan itu, Ify terhenti sejenak untuk melihat latihan yang tengah berlangsung. Beberapa orang berlatih berpasangan. Mereka semua tampak hebat dan tangguh, tapi ada satu yang paling menonjol.

Cowok tinggi kurus yang sekarang sedang berlatih di sudut aula. Dia bahkan bisa membanting lawannya tidak sampai lima menit seolah dia sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh lawannya itu.

"Hei kamu!"

Ify menoleh dan melihat murid laki-laki yang masih mengenakan seragam berjalan menghampirinya dari ujung koridor.

"Apa aku mengenalmu?" tanya Ify.

"Tidak," jawab anak laki-laki yang rambutnya dicat cokelat itu. Belum sempat dia meneruskan kalimatnya, tiba-tiba terdengar suara menggelegar dari sudut ruangan.

"SION!" Seseorang yang tampaknya sang pelatih judo terlihat sedang memarahi salah satu muridnya.

"Kamu tahu tinggal berapa minggu lagi hinga kejuaraan judo tingkat kotamadya???" sembur pelatih itu. Murid di hadapannya diam saja tanpa berani mengangkat wajahnya.

"Sudah berapa hari kita latihan intensif seperti ini? Kamu ini bukannya menunjukkan kemajuan, malah mundur JAUH dibanding sebelumnya!!!"

Semua mata tertuju ke arah mereka.

"Kalau memang masalah pribadimu lebih penting daripada kejuaraan ini, lebih baik kamu mundur saja. Jadi Bapak bisa segera mencari penggantimu!"

Anak itu masih tertunduk.

"Sekarang pulang!" perintah pelatih itu. "Bapak beri waktu sampai besok sore. Kalau kamu belum juga menyelesaikan masalahmu, akan Bapak copot nama kamu!!!"

Anak itu mengangguk tak berdaya, lalu pergi mengambil tasnya dan keluar. Semua anak di tempat itu hanya bisa memandangnya iba tanpa bisa berbuat apa-apa. Begitu melihat semua anak menghentikan aktivitasnya, pelatih yang galak itu langsung berteriak, "APA YANG KALIAN LAKUKAN?! AYO MULAI LATIHAN LAGI!!!"

Riska menelan ludah. Apa pelatih itu mau mencoba melatih dengan gaya Sparta? 
Anak yang tadi dimarahi habis-habisan berjalan melewatinya. Wajahnya pucat dan bibirnya bergetar. Dia hampir saja terjatuh kalau saja Ify tidak memegangi tangannya.

Hawa dingin langsung menyelimuti Ify. Jantungnya berdetak kencang. Napasnya sesak. Apa ini? Frustasi? Sakit? Sedih?

"Terima kasih," kata anak itu pelan, lalu pergi.

"Ugh!" Ify menutup mulutnya, merasa mual. Merasa tidak kuat, dia berjongkok. Keadaan anak itu tidak baik, dia tidak bisa dibiarkan sendiran.

"Hoi, kau tak apa-apa?"

Ify mendongak. Anak laki-laki yang tadi memanggilnya berbiri di depannya dengan wajah khawatir.

"YO!" Si anak laki-laki itu memanggil temannya yang berada di dalam aula, cowok tinggi kurus yang tadi diperhatikan oleh Ify.

"Ada apa, Yel?" tanya anak bernama Rio yang masih memakai baju judoka. "Kenapa dia?"

"Hei, namaku Gabriel," kata anak yang berdiri di depan Ify. "Kau tidak apa-apa?"

"Bu-bukan aku," sekuat tenaga Ify mencoba bicara sekaligus berusaha meredam rasa mual. "Temanmu tadi..."

"Temanku kenapa?" tanya Rio bingung.

"Apa kau tidak melihat temanmu tadi tampak pucat?" tanya Ify.

Gabriel tampak bingung. "Hah?"

"Sion?" Rio mengernyit.

Ify langsung berdiri dan segera berlari sambil berjuang mengatasi rasa mualnya.

"Ikut aku! Aku bakal butuh bantuan kalian!" perintahnya.

Gabriel dan Rio berpandangan tak mengerti, tapi mereka menurut saja dan mengikuti langkah Ify.

Dugaan Rio benar. Mereka menemukan Sion terkapar dengan napas tersengal-sengal tidak jauh dari tempat parkir.

"SION!!!" pekik Rio dan Iel hampir berbarengan sambil berusaha memapahnya.

"Kenapa dia?" tanya Iel, menatap Ify.

"Aku tidak tahu, aku hanya bisa merasakannya," jawab Ify panik.

"Dia kena asma, inhaler-nya ketinggalan di kelas," kata Rio. "Di gedung utara."

Bagaimana dia bisa tahu padahal Sion bahkan tidak punya tenaga untuk bernapas apalagi berbicara?
batin Ify heran.

"Lebih baik bawa saja dulu ke UKS," saran Iel.

Ternyata begitu mereka sampai di UKS tidak ada siapa pun disana. Dokter Cakka, dokter UKS, tidak ada di tempat. Napas Sion sudah tinggal setengah-setengah. Dia ditempatkan di tempat duduk karena satu-satunya pertolongan pertama yang mereka tahu untuk orang yang mendapat serangan asma adalah dia harus duduk tegak.

"Gawat! Jika dia tidak segera dapat obat bisa bahaya," kata Iel khawatir.

"Aku bisa mengambilnya! Aku toh salah satu pelari tercepat di sekolah ini," Ify menawarkan diri.

"Tetap saja, kau tidak akan bisa bolak-balik dari sini ke gedeung utara kurang dari lima menit!" Rio tampak berpikir keras.

Ify memandang sekeliling ruangan dan menemukan buku cara-cara melakukan P3K di salah satu rak. Secepat mungkin dia mengambilnya dan mencari petunjuk pertolongan pertama untuk orang asma.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Rio.

"Mencari petolongan pertama untuk orang asma," Ify membolak-balik halaman. Mungkin karena panik, dia malah kesulitan menemukan apa yang dicarinya.

"Yel!" Rio menatap Iel.

Iel mengangguk lalu menghampiri Ify.

"Pinjam bukunya ya," kata Iel sambil tersenyum. Ify menyerahkan buku tebal itu padanya. Tidak sampai semenit Iel memegangnya, bahkan belum sempat membuka halamannya, dia sudah langsung tahu apa yang harus dilakukan.

"Kopi!" perintahnya. "Beri dia kopi!"

"Eh, bagaimana kau...?" Ify menatapnya bingung.

Iel tidak menggubris pertanyaan itu. "Sebagai pertolongan pertama, kopi bisa membuka saluran udara ke paru-paru. Tertulis begitu di buku itu."

Tertulis
begitu? Dia bahkan belum membuka satu halaman pun!
pikir Ify.

Rio melesat ke meja periksa. Ada segelas kopi yang masih agak hangat di sana, entah milik siapa. Tanpa banyak berpikir lagi, dia langsung meminta Sion meminumnya.

Setelah beberapa teguk, keadaan Sion agak lebih baik walau dia masih tampak kesulitan bernapas.

Rio menoleh ke arah Ify. "Sekarang giliranmu."

Ify mengangguk, mengerti, "Di kelas berapa?"

"Kelas XI-6," jawabnya.

Secepat yang dia bisa, Ify berlari ke gedung utara menuju kelas paling ujung di gedung itu. Dengan napas terengah-engah, Ify masih harus mencari inhaler Sion laci demi laci. Untunglah tidak sampai harus merogoh semua meja yang ada di situ, dia menemukannya.

Di UKS bukan hanya ada Sion, Iel, dan Rio saat Ify kembali karena Pak Duta juga ada di sana. Ify menyerahkan inhaler pada Sion, yang segera mengisapnya.
Tidak lama kemudian ada mobil keluaran Eropa datang dan berhenti tepat di depan ruang UKS.

Pengemudi mobil itu keluar dengan tergesa-geas dan langsung menghadap Pak Duta.

"Ada apa, Pak?"

"Antar anak ini ke rumahnya," perintah Pak Duta.

Iel dan Rio memapah Sion ke dalam mobil. Begitu pintu mobil itu tertutup, mobil itu pun melaju.

"Tadi Pak Duta kebetulan lewat sini," Iel menghela napas.

"Untunglah," desah Ify lega.

"Lebih tepatnya, untung ada kalian," kata Pak Duta. "Kalianlah yang memberi pertolongan pertama, bukan saja."

Mereka bertiga berpandangan.

"Kebetulan yang menyenangkan," Ify tersenyum.

"Tapi sebenarnya, pertemuan ini bukan hanya kebetulan, Ify," kata Pak Duta sambil menatap lurus ke arah Ify.

"Kami memang bermaksud menemuimu."

"Eh?"

"Dengan begini, ketiga tokoh utamanya lengkap," lanjut Pak Duta.

"Ketiga tokos utama?" Ify mengernyitkan dahi.

"Of course," jawab Pak Duta. "The mind reader, the empath, and the text absorber."

Ify tertegun. Semua langsung terdiam. Jantung Ify sudah serasa berhenti berdetak. Berarti benar, orang ini sudah tahu tentang kemampuanku. Eh! Tunggu! Ify menatap Rio dan Iel. Jika the empath yang artinya adalah orang yang bisa merasakan perasaan orang lain adalah dia, maka pembaca pikiran dam penyerap tulisan adalah...

Mereka berdua!
PLOK!

Tepukan Pak Duta memecah keheningan

"Aku akan dengan senang hati menceritakan padamu apa yang sebenarnya terjadi, tapi karena cukup berbahaya jika kita membicarakan hal itu disini," katanya. "Let's talk about it at my house, if you don't mind, of course."

Ify mengangguk, dia benar-benar ingin mengetahui apa yang terjadi padanya dan siapa mereka ini.


"Great," Pak Duta tersenyum. "Kalau begitu aku akan memberi waktu kalian untuk berganti pakaian. Kutunggu di gerbang depan."

"Kalian berdua," dia menunjuk Rio dan Iel. "Mungkin sebaiknya kalian juga ikut karena walaupun aku sudah memberitahu kalian, aku belum memberitahu kalian semuanya."

Setelah berkata seperti itu, Pak Duta keluar.

Ify segera menuju ruang ganti. Di depan gerbang, Pak Duta sudah menunggu mereka di dalam mobil yang tadi mengantar Sion. Tanpa menanyakan apa pun, mereka bertiga menaiki mobil itu.

"Ini rumahku," jelas Pak Yunus begitu mobil melambat beberapa saat kemudian, tanda mereka  sudah mendekati tempat yang dituju.

"Rumah" mungkin bukan kata yang tepat, karena bangunan itu lebih mirip istana. Dua pilar besar replika pilar Kuil Parthenon menyangga rumah bertingkat tiga itu. Tidak ketinggalan taman bunga dengan air mancur berpatung Dewa Cupid.

"Wow!" seru Iel spontan.

Pak Duta hanya menanggapinya dengan ucapan terima kasih. Mereka lalu dibawa ke ruang tamu, tampat mereka melihat piano tua besar.

"Kalau boleh tahu, apa pekerjaan ayah Bapak?" tanya Iel. "Mafia?"

"Al Capone sudah ketinggalan zaman. Dan, my father is the CEO of King Group," jawab Pak Duta santai sambil meminta pelayannya untuk menyediakan minuman. "Kalian suka jus jeruk?"

***
Akhirnya part 2 selesai, kalau ngegantung bilang penulisnya ya, jangan sama gue.
Kalau pendek juga gue pasrah, ini aja pinggang sakit-sakit.
Part 3 besok ya.
Cheers -Davina.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar